Bioskop, Netflix, dan Kacamata Minus
Sejak ada Netflix, langkahku ke bioskop makin jarang.
Bukan berarti berhenti total—sekali-dua kali masih, kalau ada film besar yang benar-benar menggoda untuk ditonton di layar lebar.
Tetapi keasyikan menonton dari kamar sendiri, dengan posisi rebahan yang bisa diatur, sudah cukup membuat layar bioskop kehilangan daya tarik.
Memang tidak semua film bioskop langsung tersedia di Netflix.
Kalaupun ada, biasanya jedanya panjang—bisa hitungan bulan setelah pemutaran resmi.
Tetapi bagiku, menunggu tidak masalah.
Dua tiket bioskop yang habis dalam semalam bisa diganti dengan satu bulan langganan Netflix, lengkap dengan serial, dokumenter, dan film yang bisa diulang kapan saja.
Hemat, fleksibel, sekaligus lebih privat.
Alasan lain yang lebih personal, aku pengidap miopia.
Menonton di bioskop sering merepotkan.
Duduk terlalu depan, layar jadi kabur. Duduk terlalu belakang, teks kadang buram.
Apalagi kalau lupa membersihkan lensa kacamata, cahaya proyektor bisa membuat pandangan lebih berlapis-lapis dari yang seharusnya.
Ada penelitian kecil dari American Academy of Ophthalmology yang menyebutkan bahwa cahaya terang dan jarak layar bioskop dapat meningkatkan ketegangan mata pada pengguna kacamata minus.
Tidak heran kalau seusai nonton, kepala terasa berat.
Di Netflix, layar bisa disesuaikan, brightness diatur, bahkan jeda bisa ditekan saat mata mulai lelah.
Buatku, menonton film adalah bagian dari catharsis, menjadi pelepasan emosi—menangis tanpa harus benar-benar kehilangan, atau merasa takut tanpa harus menghadapi bahaya.
Menonton juga memberi efek parasocial relationship: kita seolah punya hubungan dengan karakter di layar, ikut merasakan, bahkan belajar dari mereka.
Jadi menonton tak hanya “mengisi waktu”, tetapi bagian dari terapi kecil-kecilan.
Namun ada sisi lain yang jarang dibicarakan, sistem bagi hasil film ketika tayang di Netflix.
Di bioskop, pembagian keuntungan lebih tradisional—sekitar 40–50% untuk bioskop, sisanya untuk distributor dan produser.
Tapi di Netflix, modelnya bukan bagi hasil per tiket, melainkan sistem lisensi.
Produser menjual hak tayang eksklusif dengan harga tertentu, atau masuk dalam skema original content di mana biaya produksi ditanggung Netflix.
Artinya, keuntungan diukur dari kontrak awal, bukan jumlah penonton.
Inilah sebabnya film indie yang mungkin sepi di bioskop bisa mendapat tempat lebih luas di platform streaming.
Tetapi, bioskop juga punya keunggulan, terutama dalam membangun atmosif penonton.
Bioskop itu semacam ritual sosial. Orang-orang berkumpul, antre tiket, membeli popcorn, duduk bersama dalam gelap, lalu keluar dengan percakapan hangat soal film.
Di Netflix, semua jadi sunyi. Kadang hanya sendiri, atau berdua dengan kucing yang tidur di kasur.
Maka kadang muncul pertanyaan, apakah generasi baru masih akan mengenal sensasi layar bioskop sebagai pengalaman kolektif?
Ataukah semuanya akan berakhir di ruang-ruang privat, dengan kacamata minus yang nyaman di balik cahaya laptop?
Lalu, sepuluh tahun ke depan, masih adakah alasan kuat untuk benar-benar pergi ke bioskop?
Tabik,
