Notifikasi
Tidak ada notifikasi baru.

Bisakah Kita Mencapai Usia 100 Tahun?

Mahathir Mohamad, mantan Perdana Menteri Malaysia, genap berusia 100 tahun.


Mahathir Mohamad baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-100. Angka yang mencengangkan. Satu abad penuh, dengan tubuh yang masih tegak dan pikiran yang masih tajam. 

Melihat berita itu, terlintas sebuah renungan: mungkinkah manusia zaman sekarang bisa bertahan hidup hingga (hanya) usia 80 tahun, apalagi seratus?

Statistik modern memang optimistis. Harapan hidup manusia terus naik dalam seratus tahun terakhir. 

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, pada awal abad ke-20, rata-rata usia harapan hidup global hanya sekitar 40 tahun. 

Kini, angka itu melonjak menjadi lebih dari 70 tahun. Faktor utamanya jelas: kemajuan medis, akses kesehatan, kebersihan, vaksin, antibiotik, dan pengetahuan gizi. 

Secara ilmiah, tubuh manusia sebenarnya didesain mampu hidup hingga 120 tahun, jika tidak ada penyakit atau kerusakan fatal.

Namun, kenyataan sehari-hari seperti menolak teori. Udara penuh racun knalpot. Air tanah tercemar limbah pabrik. Makanan cepat saji dengan lemak trans, gula, dan garam berlebihan mengisi meja makan. 

Aktivitas fisik menyusut digantikan layar ponsel dan kursi empuk. Kesehatan mental pun rapuh di tengah tekanan sosial dan tuntutan hidup. 

Tubuh manusia memang lebih panjang usianya, tapi seolah kualitasnya semakin ringkih. Hidup 80 tahun kini terasa seperti sebuah keajaiban kecil.

Filsuf Yunani kuno, Hippokrates, pernah menulis: Makanan adalah obatmu, dan obatmu adalah makananmu.

Kalimat itu seperti sebuah pengingat, bahwa panjang pendeknya umur sering kali kembali pada apa yang masuk ke dalam tubuh. 

Sayangnya, pilihan manusia modern sering lebih dekat pada kenikmatan instan daripada perawatan jangka panjang.

Di bidang kesehatan, penelitian menunjukkan bahwa empat faktor utama yang memperpanjang usia adalah pola makan sehat, olahraga rutin, tidur cukup, dan manajemen stres. 

Semua itu terdengar sederhana, tetapi jarang dijalani konsisten. Studi dari Harvard Medical School menemukan, orang yang menjalani gaya hidup sehat berpotensi menambah 10–14 tahun pada harapan hidup mereka. 

Angka itu bisa berarti perbedaan antara wafat di usia 70 atau masih segar bugar di usia 85.

Namun, umur panjang bukan hanya soal jantung yang kuat atau ginjal yang sehat. Ada dimensi psikis dan sosial yang tak kalah penting. 

Viktor Frankl, seorang psikiater sekaligus filsuf, yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi, pernah menulis: “Orang yang memiliki alasan untuk hidup, mampu menanggung hampir segala penderitaan.” 

Panjang umur juga ditopang oleh makna hidup. Orang yang punya tujuan, punya komunitas, punya alasan untuk bangun setiap pagi, cenderung lebih tahan menghadapi penyakit dan kesepian.

Kesepian itu sendiri kini dianggap sebagai epidemi modern. Di Inggris, bahkan dibentuk kementerian khusus untuk urusan kesepian. 

Isolasi sosial meningkatkan risiko kematian dini sebesar 26%. Seolah tubuh tahu, bahwa hidup tanpa koneksi manusia lainnya membuat sel-sel ikut merapuh. 

Jadi, usia panjang bukan sekadar urusan biologi, melainkan juga kualitas hubungan dengan sesama.

Friedrich Nietzsche, dengan gaya khasnya yang getir, pernah menulis, Hidup tanpa musik adalah kesalahan.

Maksudnya bukan hanya musik harfiah, tetapi juga segala sesuatu yang memberi irama, gairah, dan rasa pada hidup. 

Orang yang menjalani rutinitas kosong, terjebak dalam kerja tanpa jiwa, meski tubuh sehat, sering kali jiwanya lebih cepat menua. 

Di sinilah paradoks modernitas, fasilitas makin lengkap, tapi ruang untuk menikmati hidup justru menyempit.

Mungkin itu sebabnya melihat Mahathir Mohamad di usia seratus membuat kagum sekaligus getir. Ia menjadi pengecualian langka. 

Sebagian besar manusia mungkin hanya sampai di angka tujuh puluh, atau delapan puluh jika beruntung. Dalam kondisi lingkungan yang semakin rusak, kemungkinan mencapai angka itu semakin kecil.

Namun, keajaiban selalu mungkin terjadi. Manusia bisa memperbaiki pola makan, mengembalikan kebiasaan berjalan kaki, menata ulang prioritas agar tidak terjebak dalam stres yang membunuh pelan-pelan. 

Usia panjang memang bukan jaminan kebahagiaan, tetapi kesehatan fisik dan mental yang baik membuat tiap tahun lebih layak dijalani dan dinikmati.

Pertanyaan sesungguhnya bukan “mampukah hidup sampai 80 atau 100 tahun?”, melainkan “bagaimana hidup yang layak dijalani sampai usia itu?” Karena tanpa makna, tanpa cinta, tanpa musik—angka hanyalah angka. []

Tabik,

Realitas
Gabung dalam percakapan
Posting Komentar
Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.