Notifikasi
Tidak ada notifikasi baru.

Blitar Rasa Minang


Sekarang ini rumah makan Padang murah merebak di Blitar. 

Di kecamatan tempat saya tinggal, jumlahnya bisa lebih dari sepuluh. 

Hampir tiap pertigaan ada papan nama khas itu, huruf merah-kuning dengan gambar rumah gadang di sudutnya. 

Masuk, langsung disambut etalase kaca berisi rendang, ayam pop, gulai, sampai dendeng balado. 

Seakan-akan daerah di selatan Jawa Timur ini sedang mengalami "invasi kuliner" dari ranah Minang.

Harga nasi Padang di sini relatif sama. Rendang, menu yang selalu jadi primadona, dibanderol Rp11.000 sampai Rp12.000. 

Lauk lain, entah ayam goreng, telur dadar, atau ikan tongkol balado, biasanya Rp10.000. 

Dengan uang segitu, pembeli sudah mendapatkan piring komplet: nasi hangat, sayur daun singkong rebus, sambal hijau, kuah gulai yang disiramkan begitu saja, plus lauk pilihan. 

Sederhana, murah, dan mengenyangkan. Tak heran bila nasi Padang murah jadi laris manis.

Kini, di banyak sudut Blitar, seakan lebih mudah menemukan nasi Padang ketimbang nasi pecel yang dulu menjadi ikon.

Belakangan saya merasa Blitar kian menyerupai tanah Minang. 

Rasanya tidak berlebihan bila saya bertanya-tanya, apakah di Ranah Minang sendiri juga sebanyak ini warung nasi Padang-nya? 

Pertanyaan ini sering muncul di benak ketika makan siang di salah satu warung favorit saya. 

Bedanya, di Sumatera Barat, orang Minang menyebutnya "lapau" atau "rumah makan," bukan "nasi Padang." 

Nama "nasi Padang" justru lahir di tanah rantau. Konon, pada awal abad ke-20, orang Minang yang merantau ke Jakarta membuka rumah makan dan menamai dagangannya sesuai identitas asal: "masakan Padang." 

Dari sanalah istilah ini menyebar ke seluruh Indonesia, bahkan sampai ke Malaysia dan Singapura.

Saya pribadi termasuk pemuja nasi Padang. Menu favorit saya selalu "double lauk": dua potong rendang sekaligus ditambah telur dadar tebal khas Minang. 

Telur dadarnya istimewa, bukan tipis seperti di rumah, melainkan berlapis, berbumbu bawang dan cabai, digoreng dalam minyak banyak hingga renyah di luar tapi lembut di dalam. 

Rendangnya? Tak perlu ditanya. Daging sapi dimasak lama dengan santan dan rempah hingga kering, pekat, dan hitam manis. 

Ciri khas masakan Minang memang terletak pada keberanian rempahnya. 

Cabai, serai, lengkuas, kunyit, jahe, bawang—semuanya hadir dalam porsi royal. 

Kuah gulainya kental, sambalnya pedas, dan hampir semua lauknya berlemak. 

Maka tak heran bila teknik penyajian nasi Padang dikenal dengan "banjir kuah." 

Kuah dari gulai ayam bisa bersatu dengan kuah rendang atau kuah ikan asam padeh. Hasilnya rasa kompleks yang bikin ketagihan.

Sejarah nasi Padang murah juga menarik. Pada 1970-an hingga 1980-an, banyak perantau Minang membuka rumah makan di kota-kota Jawa. 

Harga ditekan agar terjangkau mahasiswa dan pekerja harian. 

Pola ini terus berlanjut hingga sekarang. Merekalah pelopor "fast food lokal" sebelum KFC atau McDonald's masuk. 

Bedanya, nasi Padang selalu setia dengan prinsip murah, cepat, dan kenyang.

Maka, hari ini, ketika saya melihat spanduk-spanduk baru rumah makan Padang bermunculan di Blitar, saya merasa seolah berada di tengah-tengah diaspora Minang. 

Dari satu kecamatan kecil di Jawa, aroma santan dan rendang telah menjembatani Minangkabau dan Blitar.

Pertanyaannya, lima tahun ke depan, apakah nasi pecel Blitar masih bisa bertahan melawan gelombang rendang? 

Atau kita akan sepakat bahwa lidah Jawa pun akhirnya menyerah pada kuah gulai dari ranah Minang? [FA]

Kuliner
Gabung dalam percakapan
Posting Komentar
Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.