Notifikasi
Tidak ada notifikasi baru.

Ironi Nadiem

Dari seorang anak muda briliant, kini menjadi tersangka kasus korupsi


Dulu, namanya bagai mantra yang mengubah kepak ojek menjadi aplikasi.

Kini, namanya melayangkan bayang-bayang panjang ke ruang sidang dan koridor pemerintahan.

Saya terkejut ketika pertama kali mendengar dia dipanggil menjadi menteri. Untuk apalagi?

Di memori publik, ia adalah pebisnis muda yang menantang arus. Gojek lahir dari kegelisahan sederhana, sebuah solusi untuk ojek di sudut-sudut Jakarta, lalu meledak menjadi super-app yang mengubah cara orang bergerak, makan, dan berdagang. 

Profilnya mentereng: Brown, Harvard, McKinsey, lalu startup yang menjadi simbol ambisi baru Indonesia. 

Ketika berita muncul bahwa sosok itu akan duduk di meja kabinet, ada bisik-bisik setengah kagum, setengah cemas. 

Dunia usaha dan birokrasi bukanlah saudara kembar yang otomatis saling mengerti, mereka sekadar bertemu di perempatan yang sama, dengan rambu yang berbeda.

Birokrasi adalah labirin yang tak pernah diajari di pitch deck. Di sana ada kuasa kecil yang menunggu palu, ada aturan yang tak selalu sejalan dengan kecepatan startup

Di layar, saya menyaksikan perdebatan: apakah kecepatan inovator bisa menempati ruang yang dibentuk oleh lambatnya prosedur birokrasi? 

Atau apakah seorang inovator, selepas masuk ke ranah yang gelap dan berputar ini, akan ditelan oleh logika transaksional yang tidak ramah perubahan?

Saya membayangkan dia seperti pelaut muda yang menukar kapal kencangnya—yang biasa menyeberang kanal ekonomi—dengan kapal negara yang berat. 

Eksperimennya mungkin saja tulus: membawa efisiensi, menyempitkan jurang digital, menyalakan lampu di kelas-kelas yang gelap. 

Atau mungkin, itu hanya eksperimen yang berjalan keliru; pil pahit yang tiba-tiba muncul di meja makan siswa yang terjauh di pulau. 

Entah eksperimen atau tindakan—kata-kata ini berbenturan di kepala saya seperti ombak yang tak kunjung reda.

Politik adalah panggung di mana bayangan dan cahaya silih berganti. Di sana, rumor menjadi argumentasi, dan niat baik bisa dikunyah oleh kepentingan. 

Bertahan di dalamnya bukan hanya soal kompetensi, tetapi soal tahan banting moral. 

Seorang teman pernah berbisik, “Di sana bukan hanya kemampuan yang diuji—namun juga kemampuan untuk tidak tertarik pada godaan yang tak terlihat.” 

Kata-kata itu mengeja ketakutan saat membaca berita bahwa ia dinyatakan sebagai tersangka, dengan angka yang membuat kepala terasa ringan: triliunan rupiah.

Saya teringat bagaimana Gojek dulu memberi ruang bagi pengemudi kecil untuk bernapas; bagaimana satu ide bisa merangsek ke urat-urat kota. 

Lalu melihat bagaimana keputusan di balik meja kementerian, yang mungkin lahir dari niat mempercepat digitalisasi, kini ditafsirkan oleh lensa hukum dengan angka-angka yang memaksa kita menengok kembali.

Malam itu, berita-berita seperti hujan, satu per satu menimpa atap pikiran. 

Ada yang menuntut pembuktian; ada yang meratap seolah masa depan telah dipatahkan; ada pula yang bersimpati, mengingat jasa-jasa yang pernah ada. 

Seorang psikolog mengingatkan bahwa arus informasi membuat manusia cepat lelah, kita butuh jeda untuk tidak terjebak dalam demonisasi instan. 

Ada pula politisi yang, dengan nada resmi, menyebut bahwa proses hukum harus dihormati, bahwa lembaga negara akan berjalan menurut aturan, bukan menurut kemarahan publik.

Saya membayangkan Nadiem berdiri di persimpangan itu—dilema antara pembelaan dan kehancuran citra. 

Membayangkan dia menoleh ke masa lalu: ruang-ruang rapat di mana strategi produk dirumuskan, hadirnya Gojek sebagai oase, lalu Hari-hari di mana ia menandatangani keputusan-keputusan besar yang kini menelan citranya.

Apakah ia akan survive? Dunia politik terkenal kejam, namun hukum juga menuntut bukti; di antaranya, kebenaran bersembunyi di balik dokumen, pertemuan, dan perintah yang ditulis dengan tinta birokrasi.

Tidak ada hitam putih yang sederhana; ada gradasi abu-abu panjang yang menuntut kesabaran untuk membaca faktanya, bukan hanya reaksinya.

Saya menutup laptop, menelan sisa kopi, dan mencoba menaruh rasa penasaran itu di lemari kecil di dalam dada. 

Biarkan hukum berjalan. Biarkan kebenaran, suatu saat, menyingkap tirainya. []

Tabik,

Politik
Gabung dalam percakapan
Posting Komentar
Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.