Literasi yang (Terus) Menyala dalam Senyap
Sejak kembali ke Blitar pada 2015, langkah-langkah kecil itu dimulai lagi.
Sebuah upaya yang kadang lebih mirip perlawanan terhadap sepi daripada sebuah gerakan.
Bersama beberapa orang, aku kembali menghidupkan sebuah komunitas literasi.
Tidak besar, tidak pula ambisius, hanya sebuah wadah untuk menulis, membaca, dan mengingatkan diri bahwa kata-kata punya tempatnya sendiri.
Komunitas itu dibangun tanpa niat mengglorifikasi nama satu atau dua orang.
Ia berdiri sebagai ruang komunal. Tempat kaderisasi, tempat anak-anak muda yang suka menulis menemukan sesamanya,
dan tempat orang-orang yang ingin terus berpegang pada literasi menambatkan langkahnya.
Jorge Luis Borges pernah menulis bahwa “surga itu sejenis perpustakaan,” dan mungkin memang di situlah surga kecil itu kami ciptakan.
Setiap pekan, ratusan pertemuan telah terjalin.
Di meja-meja panjang, di ruang yang berbau buku dan pendingin udara, kami mendiskusikan karya para penulis hebat.
Kadang membedah cerita milik anggota, kadang menelaah esai yang entah siapa saja bisa menulisnya.
Kami membaca untuk menemukan jalan masuk ke pikiran penulis lain, lalu menulis untuk menemukan jalan pulang ke pikiran sendiri.
Perpustakaan Bung Karno menjadi rumah utama.
Gedungnya bersih, berdinding kaca, memantulkan terik siang dengan lembut, meredam keriuhan para peziarah kubur yang pasti lebih banyak dari pengunjung perpustakaan.
Rak-rak bukunya tersusun rapi, menguarkan aroma kertas yang menua perlahan, bercampur dengan dingin AC yang menempel di kulit.
Namun kadang, ruang itu berpindah. Di sebuah kafe kecil, kami duduk mengelilingi meja.
Kopi hitam mengepulkan aroma pekat, teh hangat menenangkan tenggorokan.
Pisang goreng renyah berpadu dengan gula halus, donat kentang membangkitkan rasa manis sederhana, atau tahu petis asin-pedas menyisakan gigitan kecil di lidah.
Semua itu menjadi latar, seolah makanan dan minuman adalah jeda untuk menimbang kata, untuk membiarkan ide mengendap.
Dari pertemuan itu lahirlah buku. Satu demi satu, nama-nama yang dulu malu-malu kini tercetak di sampul.
Membaca karya pribadi di depan orang adalah keberanian yang kadang lebih besar daripada menulis itu sendiri.
Maka kami membuat panggung. Sederhana saja, kadang di Istana Gebang, kadang di Amfiteater Perpustakaan Bung Karno.
Musik mengalun pelan, puisi dibacakan dengan suara bergetar, dan di antara penonton yang tak selalu penuh, ada rasa lega.
Rasa bahwa menulis bukan pekerjaan sia-sia.
Haruki Murakami pernah mengatakan, “Jika kau hanya membaca buku yang dibaca semua orang, kau hanya bisa berpikir seperti semua orang.”
Maka dari itu, komunitas ini mencoba membuka jalan.
Agar bacaan lebih beragam, agar tulisan lebih berani.
Agar kepala-kepala muda itu tidak sekadar menyalin, tetapi menciptakan sesuatu yang baru.
Para aktivis literasi itu tumbuh. Ada yang kemudian menjadi guru, ada yang terjun ke dunia jurnalisme, ada yang bekerja di kantor biasa.
Tetapi dasar mereka sama: literasi. Apa pun pekerjaannya, membaca dan menulis tetap menjadi fondasi.
Seperti sebuah jalan sunyi yang akan selalu mereka tahu arahnya, meski rute hidup membawa ke tempat berbeda.
Ada rasa bahagia melihat buku masih dibaca, menulis masih digalakkan, meski zaman terus menggeser perhatian orang.
Di tengah gawai yang sibuk memamerkan hal-hal cepat, masih ada ruang untuk buku-buku bertahta.
Masih ada orang-orang yang percaya bahwa kalimat bisa mengubah hidup seseorang, bahkan jika hanya satu baris saja.
Tanpa membaca, dunia terasa kehilangan arah. Tanpa menulis, ingatan manusia akan hilang ditelan angin.
Maka setiap kali pertemuan itu usai, ada semacam keyakinan yang diam-diam tumbuh: bahwa apa yang kami lakukan, sekecil apa pun, adalah cara untuk melawan lupa.
Aku sering membayangkan suatu hari, di sebuah kota, di ruang sunyi lain yang mungkin tak kukenal, akan ada seseorang membuka sebuah buku yang lahir dari pertemuan kecil di Blitar itu.
Ia membacanya, mungkin hanya sekilas, mungkin dengan sungguh-sungguh.
Tetapi di sana, kata-kata akan bekerja. Kata-kata akan menemukan rumahnya.
***
Malam pun turun, lampu perpustakaan padam, kafe menutup pintu, panggung dibongkar.
Tetapi jejak pertemuan itu selalu tertinggal. Ia seperti catatan tak terlihat di udara.
Dan literasi, sekuat apa pun godaan zaman, akan selalu menemukan cara untuk hidup. []
Tabik,
