Munir

Munir Said Thalib meninggal di udara.
Tubuhnya yang ringkih terbujur di kursi pesawat Garuda GA-974, di tengah perjalanan menuju Amsterdam, 7 September 2004.
Ia tak pernah sampai ke Utrecht, tempat yang sudah menantinya untuk menempuh studi magister.
Dunia kehilangan seorang pejuang, Indonesia kehilangan satu suara paling lantang melawan kekuasaan yang bengis.
Racun arsenik mengakhiri hidupnya, tapi tidak menghapus jejak perjuangannya.
Justru dari kematian itulah, nama Munir abadi dalam sejarah perlawanan hak asasi manusia di negeri ini.
***
Munir lahir di Batu, Malang, 8 Desember 1965. Dari keluarga sederhana, anak keenam dari tujuh bersaudara.
Ayahnya seorang pedagang, ibunya menjaga rumah dengan nilai keagamaan yang kuat.
Sekolahnya semua ditempuh di lembaga Muhammadiyah: SD, SMP, SMA.
Di situ benih keberpihakannya pada yang lemah mulai tumbuh, lewat Hizbul Wathan, organisasi kepanduan Muhammadiyah.
Ia belajar disiplin, kepemimpinan, dan keberanian.
Ketika melanjutkan studi hukum di Universitas Brawijaya, Malang, ia semakin kritis.
Gelar sarjana hukum diperolehnya pada 1993, sekaligus paham bahwa hukum sering hanya berpihak pada yang berkuasa.
Sejak masih mahasiswa, ia sudah bersentuhan dengan kasus-kasus rakyat kecil.
Pilihan hidupnya semakin jelas, menjadi pengacara bagi mereka yang tak punya suara.
Munir menikah dengan Suciwati pada 1997. Dari pernikahan itu lahir dua anak: Diva Suukyi dan Alif Suahib.
Kehidupan keluarga mereka jauh dari tenang, penuh ancaman dan teror.
Namun Suciwati tidak hanya menjadi pasangan, tapi juga rekan seperjuangan.
Hingga kini, Suciwati terus menjaga api yang ditinggalkan Munir, melalui KontraS dan berbagai advokasi.
Jejak aktivisme Munir, panjang dan penuh luka.
Awalnya bergabung dengan LBH Malang, lalu pindah ke Jakarta dan memperluas medan juangnya di LBH Jakarta.
Di sanalah ia bersama rekan-rekannya mendirikan KontraS, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, saat gelombang penculikan aktivis menghantui akhir 1990-an.
Nama Munir meledak di tingkat nasional ketika ia menyoroti kasus-kasus besar: pembantaian Santa Cruz di Timor Timur, tragedi Tanjung Priok, Talangsari, sampai penculikan aktivis 1998.
Ia mendirikan Imparsial pada 1999, dan TNI Watch pada 2002.
Semua lembaga itu lahir dari kegelisahan, kekuasaan militer yang nyaris tak tersentuh hukum, dan impunitas yang membuat korban tak mendapatkan keadilan.
“HAM adalah hak semua orang, bukan hak segelintir elite,” tegasnya.
Kalimat itu, seperti mantera, menjadi arah bagi generasi muda yang masuk ke dunia advokasi.
Sayangnya, keberanian itu juga mengundang maut.
Munir diseret ke ruang-ruang interogasi, difitnah, diintimidasi.
Hingga akhirnya racun mengakhiri segalanya di udara. Pollycarpus, seorang pilot Garuda, dijadikan eksekutor.
Ia dihukum 20 tahun, tapi dilepaskan lebih cepat, membuat publik semakin yakin bahwa kasus ini tidak pernah diusut tuntas.
Kematian Munir menjadi cambuk. Ia memang tiada, tapi setiap 7 September orang berkumpul, menyalakan lilin, menuntut keadilan.
Hari itu kini diperingati sebagai Hari Anti-Impunitas di Indonesia.
Munir adalah simbol bahwa suara seorang bisa menggetarkan kursi kekuasaan.
Ia adalah pengingat bahwa keadilan sering harus dibayar mahal.
Dan ia juga teguran keras bagi bangsa ini, mengapa orang-orang terbaik kita lebih cepat pergi bukan karena usia, melainkan karena dibungkam?
Maka setiap kali nama Munir disebut, yang hadir bukan hanya kenangan, tapi juga pertanyaan.
Sudahkah kita melanjutkan perjuangannya? Atau kita justru membiarkan negara terus menutup rapat misteri kematiannya?
Munir sudah tiada. Tapi ia seperti berbisik dari balik makamnya di Batu.
“Jangan diam, jangan takut. Hanya itu cara hidup saya menjadi berguna.”