Notifikasi
Tidak ada notifikasi baru.

Pekerjaanku


Banyak yang bertanya, Kamu kerja apa sih?

Sejak kuliah dulu, saya sudah terbiasa kerja serabutan. 

Awalnya membantu majalah kampus, sekadar menulis liputan kegiatan mahasiswa, lalu berlanjut jadi penulis konten. 

Bayarannya? Jangan kaget: Rp2.000 per 250 kata. Kalau dihitung sekarang, mungkin harga gorengan satu biji. 

Tapi justru dari situ saya belajar, tulisan bisa diuangkan, meskipun receh.

Karena kuliah keguruan, sempat juga saya jadi guru SD. Mengajar anak-anak, belajar sabar, dan paham bahwa profesi itu bukan sekadar transfer ilmu, tapi juga manajemen emosi. 

Namun, jujur saja, saya tidak betah di ruang kelas. Dunia kata-kata lebih memikat.

Sempat pula masuk ke dunia jurnalis. Lapangan, deadline, berita. Semua penuh dinamika. 

Tapi pada akhirnya, menemukan kenyamanan di dunia blogger. 

Blog memberi ruang untuk menggabungkan pengalaman menulis konten, jurnalisme, dan bahkan keguruan. 

Semua bercampur jadi satu.

Sejak 2016, saya resmi jadi penyuplai konten. 

Dari sekadar freelancer, berkembang ke arah mengelola media kecil-kecilan. 

Tidak besar, tapi cukup untuk “menambah napas”. 

Saya menikmati pekerjaan ini karena bisa dilakukan dari rumah. 

Tidak perlu terburu-buru mandi pagi, tidak harus terjebak macet, dan tidak terikat absensi fingerprint.

Pekerjaan ini memberi ruang untuk tetap aktif di organisasi atau NGO. 

Kadang saya ikut project riset, bikin buku, atau jadi editor untuk instansi. 

Sesekali juga dipanggil sebagai narasumber. Memang itu bukan sumber pendapatan tetap, tapi kalau ada, honornya lumayan. Bisa 3 sampai 4 kali UMR Blitar.

Namun yang paling konsisten, saya seorang blogger sekaligus editor konten. 

Sehari bisa 40 artikel saya edit, dan berusaha menulis minimal 5 artikel baru. 

Capek? Tentu saja. Tapi ada kepuasan tersendiri.

Kalau ditanya kenapa saya masih di jalur ini, jawabannya sederhana: income

Bukan sekadar hobi. Tapi, jika nanti ada pekerjaan serumpun dengan penghasilan lebih baik, tentu saya akan mempertimbangkan. 

Tawaran di luar bidang menulis kadang ada, tapi menolak. Alasannya cuma satu: apakah bisa berkelanjutan?

Selain menulis, saya juga wiraswasta. Jangan lupa, saya anak pedagang. Sedikit banyak itu memberi kesadaran untuk terus survive.

Jujur, saya tidak suka membicarakan penghasilan. Itu wilayah dapur. Tapi karena sering ditanya, ya sudah, saya jawab sekenanya. []

cerpri
Gabung dalam percakapan
Posting Komentar
Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.