Regenerasi GPMB
Sejak "lengser" dari FLP Blitar pada 2021 silam, saya berencana untuk off dari kesibukan komunitas literasi.
Dalam artian, tidak aktif sebagai pengelola, sesekali hanya penggembira pasif, bila diundang.
Namun masih ada satu amanah di GPMB Kabupaten Blitar yang sedang berlangsung.
Meskipun GPMB adalah komunitas, masih ada nuansa “birokrasi” karena bentukan Perpusnas.
Rasanya tetap berbeda dengan komunitas bentukan masyarakat.
Berbeda misal, saat dulu saya mengelola FLP, Muara Baca atau Srengenge, yang memang murni komunitas, berada di GPMB semacam ada kecanggungan sebab bagaimanapun, ada instansi besar yang menaungi.
Hal itu jadi semacam ewuh pakewuh bila harus berakrobat seperti dulu di komunitas.
GPMB dinaungi oleh Perpustakaan sesuai tingkatan. Jika tingkat Kabupaten, maka beriringan dengan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan.
Saat penataan pengurus dulu, saya menyarankan agar melibatkan aktivis literasi, agar lebih bewarna.
Saya pun menghubungi beberapa nama, khususnya area Srengat, Ponggok dan tentu aktivis FLP Blitar.
GPMB pun memberi warna dengan meramaikan kelas-kelas literasi, juga menyuplai narasumber “dunia akhirat”.
Di antara, yang secara tidak langsung, terbentuknya Suara Sastra adalah dampak dari adanya GPMB, meski kemudian lebih populer dibanding GPMBnya.
Selintas dengar, Suara Sastra akan berbadan hukum, yang itu berarti kedepannya bisa mengurus sendiri administrasi yang selama ini masih diback up GPMB.
Artinya, keberadaan GPMB sebagai komunitas bentukan Perpustakaan menjadi opsional. Apakah akan dilanjutkan atau tidak, tergantung Dispusip.
Lagipula, bagi saya pribadi, tujuan itu telah tercapai, memeriahkan Perpustakaan Daerah, memangkas jarak antara birokrat dan aktivis literasi.
Meski letupan-letupan kecil kadang masih terjadi, dan itu alamiah saja.
Namun menjadi pengurus GPMB sebenarnya sangat bergengsi, karena dilantik langsung oleh Bupati.
Tahun 2025 ini, saatnya re-organisasi atau Musyawarah Daerah.
Dari sisi usia saya mungkin masih masuk barisan pengurus muda, namun dari aspek psikis, rasanya sudah cukup lama bergelut di bidang literasi, jika dihitung sejak 2008.
Seperti ada semacam keinginan santai dulu lah, kembali menjadi pembaca buku introver dan sekadar penggembira acara-acara literasi.
Selain juga, apakah GPMB masih dibutuhkan karena Suara Sastra sudah cukup mengakar di lingkungan dinas?
Dunia literasi sudah saya geluti sejak satu dekade ke belakang dengan beragam event dan pertemuan.
Mikir bikin acara, nyari dana, peserta, surat menyurat, nerbitin buku, dan lain-lainnya.
Bukankah sebaiknya setiap aktivitas itu dibatasi oleh periode?
Bukankah duduk ngopi sambil membaca buku, atau hadir membaca puisi juga tak kalah menyenangkan meski tak lagi menjadi pengurus?
Sambil mengamati banyaknya tunas-tunas baru tumbuh, bahkan gen Z yang lahir serba digital namun masih peduli pada buku-buku.
Saatnya pena jurnalis tertuju pada mereka, saatnya panggung-panggung dialog diisi oleh mereka.
Ini penting agar dunia literasi terus tumbuh dan tidak diisi oleh orang itu itu saja. Termasuk di GPMB.
Tabik,
Ahmad Fahrizal A.
