Notifikasi
Tidak ada notifikasi baru.

Shalat di Usia Dewasa

Shalat di usia dewasa punya dimensi berbeda, bukan lagi sekadar ketakutan pada dosa, namun ada yang lebih dalam.



Saat masih usia anak, shalat itu lebih mirip hukuman ketimbang kebutuhan. Kalau tidak shalat, kata guru ngaji, dosa. Kalau tidak shalat, kata orang tua, masuk neraka. 

Semua anak-anak tahu ancamannya, tapi tidak semua anak-anak betah menunaikan shalat. 

Ada yang curi-curi rukuk setengah hati, ada yang sujudnya cepat sekali, dan ada juga yang sekadar basahi dahi lalu lari ke halaman bermain petak umpet.

Mungkin itu sebabnya, masa kecil adalah masa shalat yang dipenuhi imajinasi. 

Imam shalat di kampung saya dulu sering protes karena makmum kecil-kecil seperti kami lebih sibuk mengintip teman daripada mengucap “amin” dengan khusyuk. 

Shalat waktu kecil hanyalah sebuah kewajiban. Ada unsur takut di dalamnya. Takut dimarahi orang tua, takut dicatat malaikat sebagai pendosa, dan tentu takut neraka yang begitu menyeramkan.

Memasuki usia dewasa, shalat punya dimensi lain. Shalat tidak lagi sekadar kewajiban, melainkan ruang sunyi yang memberi jeda. 

Ada jarak antara diri yang repot dengan kebutuhan dapur, kerjaan menumpuk, dan tuntutan hidup yang semakin mahal—dengan diri yang duduk di atas sajadah, menyebut nama Allah, seakan semua beban diturunkan begitu saja.

Di titik ini saya baru mengerti, shalat bukan sekadar menunaikan perintah agar terhindar dari dosa, melainkan proses menemukan kembali diri sendiri.

***

Dalam teori psikologi eksistensial yang dikembangkan Viktor Frankl, manusia memang senantiasa mencari makna dalam hidupnya. 

Frankl, yang pernah selamat dari kamp konsentrasi Nazi, menulis bahwa penderitaan yang berat sekalipun bisa ditanggung asalkan kita menemukan makna di baliknya. 

Nah, shalat di usia dewasa sering bekerja dengan cara yang sama.

Kita punya banyak beban. Pekerjaan, keluarga, keuangan, kesehatan. Semua itu kadang membuat dada sesak. 

Tapi begitu wudhu, lalu berdiri menghadap kiblat, ada semacam makna baru yang muncul: Saya bukan hanya mesin pencari nafkah. Saya bukan hanya tubuh yang lelah bekerja. Saya adalah hamba, dan masih punya Tuhan.

Dalam psikologi humanistik, Abraham Maslow menempatkan spiritualitas pada puncak kebutuhan manusia—ia menyebutnya “self-transcendence”, melampaui diri sendiri. 

Orang dewasa yang shalat dengan kesadaran, sedang bergerak ke arah itu; melampaui kesibukan, melampaui rasa penat, lalu menemukan sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri.

Shalat di usia kecil identik dengan aturan dan rasa takut. Di usia dewasa, ia berubah jadi percakapan. Bedanya sangat jauh. 

Kalau anak-anak diajarkan bahwa shalat adalah kewajiban, orang dewasa justru merasakan bahwa shalat adalah kebutuhan. 

Kita bisa tidak shalat, dan tak ada lagi orang tua yang memarahi. Tapi justru di sanalah letak rahasianya, ketika shalat dikerjakan bukan karena takut, melainkan karena ingin.

Uniknya, shalat yang tulus itu lahir justru setelah melewati fase panjang kehidupan. Kita tidak lagi sekadar menunduk pada aturan, tapi menunduk pada rasa rindu. Dan anehnya, semakin banyak beban hidup, semakin kita butuh shalat.

Orang Kristen yang pergi ke gereja, atau umat Buddha yang duduk bermeditasi, mungkin merasakan hal yang sama. 

Ada ruang sunyi di dalam hati yang hanya bisa dijangkau lewat praktik spiritual. 

Kita menyebutnya shalat, mereka menyebutnya doa atau meditasi. Tapi pada dasarnya sama: manusia ingin merasa dekat dengan yang transenden, yang lebih besar dari dirinya.

William James, bapak psikologi agama, menjelaskan bahwa pengalaman religius adalah pengalaman paling pribadi, paling dalam, dan tidak bisa digantikan. 

Maka tidak heran, setiap orang dewasa yang serius menekuni ibadahnya, akan merasakan semacam “energi baru” setelah melakukannya.

Kalau saya ingat masa kecil dulu, shalat adalah kewajiban yang dipenuhi dengan rasa takut. Kini, di usia dewasa, shalat adalah kebutuhan yang dipenuhi dengan rasa rindu. 

Bukan lagi “kalau tidak shalat saya berdosa”, melainkan “kalau tidak shalat saya kehilangan sesuatu.”

Shalat di usia dewasa, dengan demikian, adalah bentuk terapi jiwa. Ia membuat manusia berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan merasa ada tangan tak terlihat yang menopang di balik segala repot kehidupan.

Barangkali itu juga yang membuat saya tidak lagi heran bila umat agama lain punya ritualnya sendiri-sendiri. Pada dasarnya, semua manusia hanya sedang mencari cara untuk bicara dengan Tuhan—dan untuk sejenak terbebas dari kesibukan dunia yang melelahkan. []

Tabik,

renungan Spirituality
Gabung dalam percakapan
Posting Komentar
Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.