Sisi Lain Drama Korea
Malam hari, selain membaca buku, aku kadang terjebak pada layar laptop, membuka Netflix, memilih satu serial yang terasa menarik.
Bagi sebagian orang, mungkin menonton drama Korea hanyalah hiburan biasa.
Namun bagiku, ia mirip eksperimen psikologis, seakan sutradara sengaja menyusun teka-teki untuk menguji kesabaran dan rasa penasaran penontonnya.
Yang membuat drama Korea menonjol adalah alurnya yang sukar ditebak. Plot twist muncul di momen yang tidak pernah kuduga, bahkan kadang terlalu ekstrem.
Dalam teori naratologi, hal semacam ini disebut defamiliarization, membuat sesuatu yang sudah dikenal menjadi asing kembali, agar penonton melihatnya dari sudut pandang lain.
Tak jarang, drama itu memanfaatkan teknik red herring, memberi petunjuk palsu agar kita terkecoh, lalu tiba-tiba menyeret ke arah yang sama sekali berbeda.
Inilah mengapa aku jarang bisa berhenti di satu episode saja. Drama Korea seperti membangun jebakan dramaturgis: semakin ingin berhenti, semakin dalam aku terseret.
Detail pekerjaan dalam drama juga digarap serius. Dokter, detektif, jaksa, bahkan pekerja kafe sekalipun—semua memiliki gestur, dialog, dan latar kerja yang terasa nyata.
Ada riset yang panjang di baliknya, sehingga profesi bukan sekadar latar, melainkan menjadi mesin pendorong cerita.
Misalnya, drama medis tak hanya menampilkan operasi darurat dengan musik menegangkan, tapi juga dilema etik, tanggung jawab moral, bahkan intrik administratif di rumah sakit.
Di situlah letak kekuatan mereka, membuat penonton seolah masuk ke dunia kerja yang asing, lalu belajar hal-hal baru tanpa sadar.
Namun ada kelemahan yang tak bisa diabaikan. Rata-rata episode drama Korea berdurasi panjang, satu jam lebih, kadang terasa melelahkan.
Apalagi bila masalah yang rumit justru diselesaikan dengan solusi yang terlalu sederhana.
Konflik yang sejak awal dikembangkan dengan teliti bisa saja runtuh hanya karena sebuah pengakuan singkat atau keberuntungan yang datang tiba-tiba.
Seolah penulis skenario lelah mengulur konflik, lalu memutuskan segalanya selesai begitu saja.
Dalam kritik film, hal ini disebut deus ex machina, ketika penyelesaian datang bukan dari logika cerita, melainkan dari keajaiban naratif.
Tetapi jika berbicara soal sinematografi, sulit untuk tidak terpesona.
Drama Korea memiliki standar visual yang konsisten tinggi. Komposisi kamera jarang asal.
Ada pemakaian establishing shot untuk menekankan lanskap kota atau desa, seolah ingin menancapkan geografi emosional sejak awal.
Close-up digunakan dengan sabar, menangkap detail ekspresi wajah hingga kerutan kecil yang menyiratkan kebimbangan.
Palet warna pun disusun hati-hati. Biru dingin untuk ketegangan, kuning hangat untuk momen keluarga, abu-abu kusam untuk menggambarkan putus asa.
Bahkan pencahayaan interior sering memanfaatkan cahaya natural, membuat ruang-ruang sederhana tampak hidup di layar.
Semua itu membuat menonton menjadi nyaman, meski alur kadang terlalu bertele-tele.
Pada akhirnya, drama Korea bagiku seperti pertemuan antara buku yang terbuka setengah dan cermin yang berembun.
Ada bagian yang jelas, ada pula yang sengaja dibiarkan samar.
Kadang aku kesal karena akhir cerita dipaksa sederhana, tapi di sisi lain aku tetap kembali lagi, mencari serial lain, menanti teka-teki baru yang mungkin lebih cerdik.
Malam pun berulang, buku ditutup, layar dibuka, dan aku kembali menyerahkan waktu pada dunia fiksi yang begitu lihai menipu rasa ingin tahu. []
Tabik,
