Notifikasi
Tidak ada notifikasi baru.

Sore yang Tak Pernah Usai



Kenapa masa SMA begitu sulit dilupakan? 

Pertanyaan itu muncul kembali pada suatu sore ketika lagu dari tahun 2008 dan 2009 mengalun di sudut kafe.

Nada-nada yang pernah terdengar remeh di telinga remaja belasan tahun itu, tiba-tiba saja menjelma pintu rahasia yang menyingkap masa lalu. 

Seketika, jalanan kota yang dulu sering dilalui saat pulang sekolah hadir lagi, lengkap dengan bayangan pohon yang menyisakan teduh samar.

Seperti kata Marcel Proust, Kenangan masa lalu bersemayam dalam aroma dan nada yang tak pernah kita duga.

Ada riuh suara dari kantor ekstrakurikuler—ketika panitia berdebat tentang acara pentas seni, atau klub basket memperebutkan jadwal lapangan. 

Bangku taman sekolah tempat duduk sambil menggerutu tentang pelajaran matematika masih terasa dinginnya. 

Bahkan main PlayStation di sela jam kosong, di rental belakang sekolah, hadir kembali dengan detail yang menakjubkan.

Suara joystick, teriakan kecil karena kalah tipis, hingga uang koin yang ditukar di meja kasir. 

Semua itu menyeruak seakan-akan baru kemarin terjadi.

Usia 16 hingga 18 tahun melekat kuat karena pada fase itulah otak manusia mengalami perkembangan signifikan pada bagian hippocampus dan prefrontal cortex. 

Kombinasi antara hormon pubertas, dorongan identitas, dan pengalaman pertama kali menemukan kebebasan membuat segala detail lebih mudah terekam. 

Itu sebabnya banyak orang dewasa menganggap masa SMA adalah fase emas yang tak tertandingi. 

Jean Piaget menyebut tahap ini sebagai formal operational stage—kemampuan berpikir abstrak mulai matang, sehingga setiap pengalaman adalah cerita yang diberi makna.

Maka, saat musik dari 2008 terdengar sore itu, bukan hanya suara yang datang, melainkan keseluruhan atmosfer. 

Aroma seragam putih abu-abu yang baru dicuci, 

halaman sekolah dengan garis cat putih di lapangan, 

bahkan cahaya matahari yang condong di sisi barat seolah ikut menyelinap. 

Seperti sebuah film lama yang diputar ulang, lengkap dengan suara, warna, dan getarannya. 

Milan Kundera pernah menulis, Memori bukan hanya tentang apa yang kita alami, melainkan tentang bagaimana kita ingin mengingatnya.

Masa SMA memang menjadi ruang antara, terlalu muda untuk dianggap dewasa, terlalu tua untuk disebut anak-anak. 

Di sanalah perasaan menjadi begitu tajam. Cinta pertama hadir dengan kekikukan yang naif, 

persahabatan ditempa dengan sumpah setia yang terasa mutlak, 

kegagalan ujian seolah musibah besar, dan keberhasilan kecil bisa membuat dunia seakan berpihak. 

Setiap hal tampak monumental. Pada usia itu, manusia belajar memaknai dunia sekaligus dirinya.

Kini, ketika usia bertambah, yang tersisa hanyalah gema. 

Jalan pulang sekolah itu mungkin sudah dipenuhi kafe-kafe baru. 

Bangku taman sekolah mungkin sudah dipindahkan atau lapuk dimakan cuaca. 

Rental PlayStation yang dulu jadi tempat berlindung di jam kosong bisa jadi telah berganti minimarket. 

Namun, yang tak pernah hilang adalah perasaan yang melekat pada detail-detail sederhana itu.

Itulah reminiscence bump: kecenderungan manusia mengingat lebih banyak pengalaman dari usia remaja hingga awal dua puluhan. 

Karena pada masa itu otak menandai peristiwa dengan emosi yang kuat, jadilah memori yang nyaris mustahil dihapus. 

Maka, tak heran jika lagu dari tahun tertentu bisa langsung menghidupkan kembali suasana sekelas, senyum guru favorit, atau bahkan aroma spidol di papan tulis.

Kenangan SMA sering hadir tiba-tiba, biasanya di saat sepi. 

Misalnya ketika sore menjelang, langit mulai jingga, dan musik dari ponsel berputar tanpa sengaja. 

Pada saat-saat begitu, hati menjadi rentan, mata bisa tiba-tiba berkaca-kaca, dan dada dihimpit rasa rindu yang tak bisa diceritakan kepada siapa pun. 

Kenangan hangat bisa menyiksa, sama seperti luka yang tak kunjung sembuh, kata Haruki Murakami. 

Ketika lagu terakhir berhenti sore itu, ruangan kembali sepi. 

Tapi dalam hati, gema masa lalu masih berdentum. Kenangan SMA tak benar-benar berakhir. 

Ia hanya menunggu, bersembunyi di balik melodi, aroma hujan, atau cahaya sore. 

Setiap kali pintu kecil itu terbuka, kita kembali menjadi remaja—penuh gairah dan lugu. []

Tabik,

NOSTALGIA
Gabung dalam percakapan
Posting Komentar
Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.