Terjebak Kemarau Basah
Rabu malam. Kursi kayu di kafe vintage itu seperti menyimpan memori yang terus berputar.
Seakan bisa terbaca cerita puluhan orang yang pernah duduk sebelumnya.
Malam itu, aku bagian dari rangkaian cerita itu. Duduk dengan gelas kopi hitam yang hanya tinggal setengah.
Di sisi piring kecil, dua irisan onion ring mendingin, seperti lingkaran waktu yang terputus di tengah jalan.
Tiba-tiba, hujan datang. Tidak ada tanda, tidak ada aba-aba.
Langit yang sejak sore tampak kering dan mengeriput, mendadak runtuh.
Butir-butir air menabrak atap seng kafe, jatuh dengan bunyi yang menegaskan kehadirannya.
Musim kemarau, katanya. Tapi entah sejak kapan kemarau jadi basah. Mungkin kalender tak lagi bisa dipercaya.
Hujan ini seperti selingan yang dipaksakan, seperti catatan kaki yang justru mengubah makna keseluruhan halaman.
Aku menoleh ke arah parkiran. Jok motor di luar basah kuyup. Tak ada jas hujan di dalamnya.
Memang tidak terpikir sama sekali untuk membawanya.
Siapa yang menduga kemarau bisa meneteskan air?
Inilah ironi yang lembut. Kita sering merasa aman dalam pola yang kita buat sendiri, lalu lupa bahwa alam punya cara sederhana untuk membatalkan rencana.
Kopi di gelas itu ikut menjadi narasi lain. Setengah yang tersisa terasa lebih pahit daripada separuh awal.
Barangkali karena udara dingin membuat pahitnya lebih menonjol, atau barangkali karena aku sendiri sedang menunda sesuatu.
Dua irisan onion ring di piring menatapku tanpa kata. Seperti dua bulan sabit yang tak sempat purnama.
Ada kesepian kecil yang bersemayam di tengah lingkaran itu.
Aku memilih tidak tergesa. Biarlah hujan menulis puisinya di jalanan.
Biarlah air berlari menuruni aspal, bercampur dengan sisa debu kemarau.
Aku tetap di kursi itu, membuka laptop, menyelesaikan beberapa artikel yang sudah lama menunggu giliran untuk diedit.
Tuts-tuts keyboard bergantian dengan suara hujan, seakan ada duet tak resmi antara mesin dan alam.
Ada rasa damai yang aneh: terjebak hujan tapi tidak tergesa pulang. Justru ada ruang jeda yang disediakan.
Ruang untuk menengok diri sendiri, untuk menyadari bahwa hidup selalu menyisakan setengah gelas kopi dan dua irisan onion ring yang belum disentuh.
Hujan akhirnya reda, tapi malam tidak. Gelap tetap menggantung di jendela kafe, bersama aroma sisa hujan yang menyusup hingga ke kursi.
Aku menghabiskan sisa kopi yang dingin itu. Pahitnya lebih pekat, tapi ada jejak manis samar di dasar gelas.
Begitulah hidup, pikirku. Kadang yang kita kira pahit seluruhnya, menyimpan sedikit manis di ujung terakhir.
Aku berdiri, meraih kunci motor, menepuk-nepuk jaket yang tetap kering karena terlindung atap kafe.
Jok motor masih basah, tapi itu tak apa, yang penting aku pulang dengan pikiran yang lebih lega.
Rabu malam, hujan kemarau, dan setengah gelas kopi telah menuliskan catatan kecil, bahwa jeda seringkali lebih penting daripada kecepatan. []
