Notifikasi
Tidak ada notifikasi baru.

Kisah Sukses Berhenti Merokok


Merokok sambil sarapan di rooftop, smoking area, Kuretakeso, Kemang, Jakarta Selatan. Dok/pribadi



Aku merokok, meski tak bisa disebut perokok. Hanya sebatang sehari, tak masuk standar kriteria perokok.


Apalagi tidak semua rokok bisa kunikmati. Saat ini hanya camel fresh berry dan L.A Menthol, yang cocok. Feelnya dapet.


Kadang ditawari orang merk lain, daripada mubazir, aku menolaknya.


Bukan sombong ataupun tak menghargai, ada perokok lain yang lebih “membutuhkannya”.


Kulihat ada beberapa perokok yang tiap jamnya tak bisa lepas dari rokok, padahal dompetnya tipis. Ini bahaya.


Daripada aku merokok dan tak bisa kunikmati, mungkin akan ada orang lain, perokok, yang akan menikmatinya.


Sekaligus membantu meringankan beban dompetnya yang terus digali untuk biaya rokok.


Padahal, kebutuhan hidupnya tak hanya beli rokok.


***


Sebenarnya, menjadi perokok itu middle budget, sekalipun rokok non cukai yang murah itu.


Hitunglah per bungkus 10rb, sehari habis dua bungkus, 20rb.


Itu belum kalau rokoknya harga 20rb atau 30rb ke atas. Dihitung-hitung lumayan juga.


Tidak besar, tidak sampai buat beli mobil, namun di tengah kondisi ekonomi sekarang ini, uang itu sangat berarti.


Jika gajinya 3jt per bulan. Maka biaya rokoknya saja bisa 20% dari gaji.


Lebih mahal dari biaya sewa kamar kos atau beli galon air mineral yang ada manis-manisnya.


Lagian, apakah rokok itu punya nilai tambah bagi hidup? Mungkin ada. Misalnya, membantu produktifitas kerja. Mungkin saja kan?


Jika demikian, 20% alokasi gaji mungkin tak terlalu merisaukan, sebab ada nilai tambah.


Pun saat ini yang aku lakukan, sebatang sehari adalah waktu tatkala harus mengedit 40 artikel, atau saat harus tidur larut malam karena kerjaan.


Pada kondisi tertentu, merokok sebenarnya tidak hanya untuk bersenang-senang, namun terselip transaksi personal. Untuk apa harus mengundang nikotin ke tubuh kita?


Kecuali, jika memang orang kaya. Sayangnya, banyak orang kaya berhenti jadi perokok.


Atau mungkin mereka perokok, saat belum kaya.


Atau tetap merokok, meski bukan lagi perokok, misalnya merokok sekadar untuk mengikat keakraban bersama teman, tetangga, dsb.


Jika belum jadi perokok, sebaiknya jangan bercita-cita. Orang tua perokok pun berharap anaknya tidak jadi perokok.


Lalu bagaimana nasib pabrik rokok jika tidak ada perokok?


Ya, itu persoalan makro ekonomi. Negara dan kapitalis lah yang bisa menjawabnya.


Kita yang pejuang UMR sebaiknya mikirin diri sendiri dulu.


20% alokasi gaji buat nikotin itu sangat besar, padahal tubuh juga perlu protein, serat, vitamin dan (tentu saja) karbohidrat.


Maaf bila isi tak sesuai judul.


Tabik,

Ahmad Fahrizal A.

renungan
Gabung dalam percakapan
Posting Komentar
Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.