Notifikasi
Tidak ada notifikasi baru.

MBG dan Kita yang Tak (Sempat) Makan Bergizi


Ilustrasi makan bersama di sekolah dengan Cici AI


Narasi Makan Bergizi Gratis (MBG) yang disampaikan Ketua BGN, begitu canggih dan revolusioner, temasuk dari aspek anggarannya.


Sambil merenung, enak sekali ya sekolah era sekarang? Bayangkan eraku dulu.


6 tahun aku bersekolah di SDN NyB (nyaris bangkrut), sekarang sudah beneran bangkrut, dimerger dengan SDN di dekatnya.


Program MBG belum ada, karena Presidennya masih mertua Presiden sekarang. 


Mungkin juga soal anggaran, APBN dulu tak sebesar sekarang. Mungkin.


Padahal MBG sangat diperlukan generasiku. Banyak temanku yang belum sarapan, dan tak punya uang saku.


Namun, saat kulihat nampan menu MBG, sepertinya ekspektasiku terlalu besar.


Narasi ketua BGN bahwa ini bagian dari “intervensi gizi” siswa mungkin terkesan berlebihan, meski tak keliru juga.


Sepotong ayam atau sebutir telur, setangkup nasi, seiris buah dan secentong sayur bukan menu mewah.


Apalagi buah dan sayur yang pada masa kecilku, masih mudah didapat, gratis, di samping rumah, tumbuh liar tanpa pestisida dan pupuk kimia.


Namun daging bukan menu yang juga bisa ditemui setiap hari, konon tidak setiap hari juga MBG menyajikan menu daging.


Sumber protein selain daging adalah telur, tempe dan tahu. Standar seperti menu di meja makan kita sehari-hari.


Apalagi dengan biaya per porsi hanya Rp10.000. Btw, 10.000 jika dikali 3.000 porsi kan bisa belanja banyak.


Buah, sayur, telur, tahu, tempe dan susu kan bisa dapat harga lebih murah jika pesannya banyak.


Jadi jangan pikir Rp10.000 untuk makan porsian di warung, jelas tidak akan dapat menu yang sesuai standar gizi.


Semoga, dari budget Rp10.000 itu juga tak lagi dipangkas oleh oknum demi mengejar keuntungan lebih. Kasihan kan penerimanya nanti, kalau hanya dapat semangka setipis ATM.


Secara pribadi, aku setuju program “kasih makan” ini, namun tak menyangka jika begitu kompleks sistem dan prosedurnya.


Kukira dulu lewat kantin sekolah, Pemerintah mentansfer sejumlah uang sesuai kebutuhan masing-masing sekolah.


Lalu para murid mengambil sendiri, prasmanan, seperti drama-drama drakor. Ya, kukira akan prasmanan.


Ternyata tidak. Harus bikin dapur dulu, lengkap dengan standar dapur ala restoran, lengkap juga dengan mobil pengantarnya.


Porsinya sekitar 3.000, dikemas dalam ompreng alumunium. Tentu sekelas warteg belum tentu mampu mengambil peran ini.


Hanya pengusaha yang bisa mengambil peluang ini dengan kalkulasi ekonominya.


Selain itu, bila jalan, program ini juga akan menderek komoditas lokal seperti hasil pertanian dan peternakan.


Juga akan membuka lapangan kerja yang sangat banyak. Menurutku ini sangat dahsyat. Ibarat mendayung, beberapa pulau terlampaui.


Namun, energinya mungkin akan tersedot pada kalkulasi ekonominya, energi untuk berpikir: apakah menu yang disajikan nanti memang bergizi?


Tak usah khawatir, kan ada ahli gizinya. Kata seorang teman. Oke, dalam prakteknya, seberapa kuat idealisme akademis ahli gizi menjebol kalkulasi ekonominya pengusaha MBG?


Selain itu, apakah makanannya enak? Enak itu penting, agar sajian dalam ompreng itu tak bersisa.


Bayangin, udah porsinya minimalis, gak dihabiskan pula, bagaimana mau dapat gizi?


Tabik,

Apresiasi Program
Gabung dalam percakapan
Posting Komentar
Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.