Memasak Bagi Kaum Lidah Minimalis
Kamu pasti jago masak, buktinya sering memasak sendiri. Ujar seorang teman.
Terkesan begitu, faktanya terbalik, justru karena aku tak begitu jago masak. Lho kok?
***
Ritual makan adalah momentum yang sangat aku nikmati.
Biasanya aku sarapan di atas jam 9 pagi, kadang di atas jam 10.
Jarang sekali sarapan di bawah jam tersebut, kecuali ketika ada kegiatan, atau perjalanan keluar kota.
Tiga bulan belakangan aku memang nyetok lauk di kulkas, sering membuat story whatsapp masak atau menyajikan makanan sendiri.
Sebenarnya karena lagi berhemat. Keuangan kurang baik beberapa bulan terakhir, terdampak disrupsi AI.
Namun ini bukan musibah, hanya perlu beradaptasi, dan karena itu perlu berhemat.
Sikap berhemat itu membuatku sering belanja frozen real food. Ikan nila beku, daging ayam bumbu siap masak, atau bebek ungkep.
Mewah? Tidak. Jika dikalkulasi ini lebih hemat jika dibanding bulan-bulan sebelumnya.
Membeli bahan mentah bisa memangkas saparuh budget, meski harus ada usaha buat masak sendiri, dan belum tentu lebih enak dibanding beli siap saji.
Sebagai pelengkapnya, di sekitar rumah, aku menanam daun kelor. Dulu sih ada juga daun gendola/ binahong merah. Sebagai sayur, cukup lah.
Buahnya pepaya atau pisang. Harga pepaya di pasar tradisional lumayan murah.
Bumbunya? Ada bumbu sachet merk hidayah, atau bila ada waktu, menggerus sendiri bawang putih dan bawang merah.
Beragam jenis masakan bisa tersaji dengan bantuan bumbu kemasan ajaib itu, dan tak perlu khawatir, lidahku adalah tipe pengecap minimalis.
Makanya kalau ditanya tentang makanan, aku cukup sulit memberikan penilaian yang spesifik, karena bagiku sedikit bumbu saja sudah enak.
Itulah kenapa aku masak sendiri dan bisa menikmati masakan dengan bumbu minimalis.
Kemampuanku untuk menilai makanan terbilang payah, apalagi jika harus menilai detail komposisinya.
Jarang komplain soal rasa masakan, bahkan bagiku seporsi Nasi Padang 11rb an adalah kenikmatan tersendiri.
Tiap hari aku bisa beli Nasi Padang, lauknya nyaris selalu dobel, lebih sering rendang plus telur.
Barangkali itulah nikmatnya terbiasa hidup sebagai orang biasa dengan standar makanan yang biasa pula.
Dengan lidah minimalis yang relatif semua makanan oke-oke saja.
Aku memasak bukan karena jago masak, justru karena (mungkin) cuma aku sendiri yang doyan memakannya.
Tabik,
Ahmad Fahrizal

