Andai (Waktu itu) Tinggal di Jakarta
![]() |
| Merenung di smoking area. Dok/pribadi |
Berkunjung ke Jakarta memang menyenangkan, namun tidak untuk menetap dalam waktu lama.
Beberapa kunjunganku ke Jakarta selalu karena agenda lembaga, tidak pakai uang sendiri.
Kereta Api adalah transportasi yang tepat, meski harus memakan waktu 12 jam jika dari Blitar, atau sekitar 14 jam jika dari Malang.
Namun tak apa, 12 jam di dalam kereta eksekutif tidak begitu membosankan.
Jalan-jalan di kereta makan juga menyenangkan, berjumpa banyak orang dengan beragam topik obrolan randomnya.
Pulangnya, sambil menunggu jadwal kereta, bisa mampir Perpusnas. Jaraknya teramat dekat dari stasiun Gambir.
***
Karena acara lembaga, tinggalnya di penginapan, ber-AC.
Jika acara 5 hari, biasanya ada waktu ekstra 2 hari di luar agenda untuk bisa jalan-jalan. Terutama hari kedatangan dan kepulangan.
Jika acara tanggal 4, biasanya tanggal 3 sudah di lokasi. Jika tanggal 9 acara selesai, pulangnya tanggal 10.
Meskipun, malam hari juga free, bisa jalan-jalan menyusur area sekitar penginapan, atau ke lokasi yang agak jauh.
Jakarta sebenarnya tidak begitu luas. Tidak ada separuhnya Kabupaten Blitar. Namun sangat padat. Kepadatan ini membuat laju kendaraan pelan merayap.
Namun trotoarnya ramah buat pejalan kaki, banyak pedestrian, juga pohon-pohon besar di pinggir jalan.
Meski demikian, terasa panas dan gembrobyos sebab aku keliling dengan ojek motor.
Perjalanan dari Mampang ke Jalan Merdeka Selatan yang sekitar 9km menurut Gmaps itu ditempuh hampir satu jam, di siang hari, itupun selip sana selip sini.
Aku heran mas ojek yang betah memakai jaket di bawah sengatan terik matahari.
![]() |
| Penginapan di area Kemang. |
AC sangat dibutuhkan di jakarta. Kebalikan di Blitar, khususnya area pedesaan yang kualitas udaranya masih terjaga sebab minimnya polusi.
Di Jakarta, Indeks Kualitas Udara (AQI) sering di atas 150, artinya tidak sehat.
AC selain untuk mengatur suhu ruangan, juga untuk menyaring udara, jenis AC purifier menjadi sangat berguna di kota besar seperti Jakarta.
AC di penginapanku sudah mendukung itu, termasuk rekayasa suhu sesuai keinginan.
Aku yang tak betah berada di ruangan ber-AC bisa nyaman karena AC bisa diatur “seperti tidak menghidupkan AC”.
Menjadi kaum miskin kota pastilah sangat tersiksa, tidak mampu memasang AC di rumah, sekaligus merasakan kesenjangan yang ekstrem.
Apa kabar yang bermukim di gang-gang kecil dan sempit? Aku tak lagi membayangkan untuk tinggal di kota sebesar Jakarta.
Sebab calon kosku dulu ada di gang-gang rumah warga, meskipun bukan gang sempit dan kumuh.
Sekitar 10 tahun silam, aku nyaris hijrah ke Ibukota. Seorang teman sudah mencarikan kos, lamaran pekerjaan juga sudah masuk dan hasilnya cukup positif.
Rata-rata kos-kosan juga sudah ber-AC, sekalipun yang middle budget.
Karena kondisi rumah “kacau balau”, kesempatan itu urung terlaksana dan justru terjebak di tanah kelahiran.
Terpaksa menghidupkan kembali komunitas literasi agar tak mati dirundung kebosanan di kota pensiun itu.
Juga sebuah keajaiban aku bisa bertahan hidup sebagai blogger dan frelancer sepanjang itu, sekembalinya dari Malang.
Kunjungan ke Jakarta kerap kali penuh perenungan, apalagi dalam perjalanan pulang sore hari, persisnya ketika melewati rumah-rumah di pinggiran rel yang pagarnya disulap jadi tempat jemuran.
Jakarta menyenangkan bagiku, mungkin karena sebatas jadi pengunjung, apalagi terfasilitasi dengan baik.
Tidak sebagai orang yang bermukim dalam waktu lama, yang merasakan kerasnya kehidupan Ibukota.
Aku dan banyak orang lainnya mungkin pernah juga bermimpi untuk meniti karir di sini.
Memori itu menari liar dalam kepalaku, seiring laju rel besi meninggalkan jejak Hertzian contact di balik deru pengereman dinamis yang meredam gema waktu.
Melindas mimpi-mimpi masa lalu. []
Tabik,
Ahmad Fahrizal A.

