Pak Krisna, Alam dan Puisi
![]() |
| Pak Krisna saat tampil membacakan puisi di agenda Suara Sastra. Dok/local |
Setelah registrasi Pemindai Wajah selesai, dan bisa melewati boarding gate, aku mengelilingi lantai I, sekaligus mengamati fasilitas terbaru Stasiun Gambir.
Jadwal kedatangan Kereta Brawijaya masih sejam lagi.
Sesampainya di kolam ikan, seseorang menatapku agak lama, pun diriku yang menatap beliau, semacam slow motion.
Orang ini mirip Pak Krisna, batinku. Aku tak langsung yakin itu beliau. Mungkin beliau juga demikian.
Di dunia ini ada beberapa orang yang mirip, atau selintas mirip.
“Mas Fakhrizal,” sapa beliau.
“Lho, pak,” balasku.
Ternyata itu memang Pak Krisna. Rada pangling karena memakai kemeja krem traveler dan kacamata frame wayfarer klasik.
![]() |
| Perjumpaan dengan beliau di Stasiun Gambir. Dok/pribadi |
“Sendirian pak?” tanyaku.
“Enggak, bertiga, (lainnya) duduk di atas (lantai II).”
Stasiun Gambir sangat luas, ramai pula, dan qodarullah bisa berjumpa di sini, 730 km dari Blitar.
Kami melanjutkan jalan kaki keliling lantai I untuk “persiapan” duduk lama, sambil berbincang banyak hal, mulai dari tong sampah yang sudah dipilah menjadi 3 jenis, air mineral gratis, hingga toilet difable.
“Acara apa?” tanya beliau.
“workshop pak, di kemang.”
“Dari blitar sendirian?”
“Iya, tadi baru dari Perpusnas, nyari referensi di koleksi buku langka.”
“Suara sastra masih jalan ya?”
“Masih.”
Jarak Perpusnas ke Stasiun Gambir sebenarnya hanya selemparan Batu.
Namun aku buru-buru ke stasiun untuk melihat kelompok musik keroncong+biola yang beberapa tahun lalu main di dekat tangga lantai II.
Ingatan itu sangat melekat, meski sudah 2 tahun berselang, dan sepertinya hari itu mereka sedang tidak ada jadwal.
Kami duduk sejenak di barisan kursi dekat charging HP. Beliau ke Jakarta dalam rangka perjalanan dinas, menerima penghargaan mewakili Pemkab.
“Kok naik kereta pak?” tanyaku.
Demi efisiensi waktu, bisa naik pesawat, namun harus ke Malang atau Surabaya.
***
Perkenalanku dengan Pak Krisna Triatmanto bermula saat beliau menjadi kepala Dinas (Kadis) Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Blitar.
Tugas baru tersebut membuat beliau masuk lorong baru, berjumpa aktivis literasi, penulis, penyair dan pembaca buku.
Sebelumnya adalah Kepala DLH, dan sepertinya beliau sangat mengkhidmati perannya saat di Dinas Lingkungan Hidup.
Itu tercermin dari perbincangan kami, concern beliau soal sampah dan sungai begitu kentara.
Saat pindah tugas ke Perpustakaan, beliau mengaku perlu beradaptasi lagi meski buku bukanlah dunia yang asing baginya.
Saat masih kuliah Ia akrab dengan buku. Adanya Suara Sastra membuatnya kembali membaca dan menulis, itu seperti memanggil kembali dunia lama yang beliau tinggalkan sementara.
Sungai, hutan, laut, baginya juga puisi meski tak tertuliskan. Tampak sekali perhatian beliau pada kebersihan sungai, pelestarian alam, hingga ekosistem lingkungan.
Sesekali menceritakan program bersih-bersih sungai, atau memamerkan ulasannya di google maps yang sudah dilihat ratusan ribu kali.
Ia cukup banyak mengulas pantai dan tempat makan.
Sejak menjadi Kadis Perpus, Pak Krisna sering datang ke Suara Sastra, tampil membaca puisi.
Beliau mahir juga menulis puisi, kaya perbendaharaan kata, khususnya puisi dengan rima berangkai a-a-b-b atau rima silang a-b-a-b.
Beliau seorang yang literat dan literer, tak keliru sebenarnya ketika ditunjuk menjadi Kadis Perpustakaan, sekalipun jabatan tersebut tak begitu “populer” di antara OPD lainnya.
***
Kami naik ke lantai II dan menuju ruko minimarket yang ada gorengannya.
“Gorengannya besar-besar di sini pak,” ucapku sambil menarik plastik hitam untuk mengambil beberapa.
Selain gorengan ada arem-arem. Seperti lontong namun ada isian sayur dan suiran ayamnya. Praktis dimakan.
“Ini bisa buat bekal makan malam di dalam kereta,” sahut beliau sambil memasukkan dua bungkus ke dalam plastikku.
Lalu kami mengantri di kasir.
“Jadikan satu aja mas,” ucap beliau ke kasir sambil memintaku menaruh plastik hitam dan air mineral.
“Gak sekalian kopi atau pocari?” lanjut beliau.
Kebetulan aku tak terlalu suka minuman kemasan, dan nanti di dalam kereta bisa membeli kopi hitam panas. Kopinya lumayan enak.
Kami duduk sebentar di kursi dekat jendela sambil mencicipi arem-arem ayam.
“Sudah punya calon mas?” tanya beliau.
“Apa masih nunggu keluaran terbaru,” lanjutnya.
Belum sempat menjawab, seorang ibu paruh baya mendistraksi obrolan kami, ia nitip koper besar karena harus ke toilet sebentar.
Padahal koper itu bisa ia titipkan di sekuriti sudut ruangan atau petugas yang berdiri di dekat eskalator.
Tak lama kemudian announcer stasiun menginformasikan kedatangan kereta Brawijaya jurusan Jakarta-Malang.
Aku membuka ponsel dan melihat nomor gerbong, kami di gerbong berbeda.
Ibu itu kembali dari toilet. Aku dan Pak Krisna bergegas naik ke peron. Peron stasiun Gambir ada di lantai paling atas.
Kereta Brawijaya datang, dan kami berjalan ke arah berlawanan setelah berpamitan, menuju pintu gerbong masing-masing.
Sekalipun aku dan Pak Krisna kenal sejak pertangahan 2022, namun sebenarnya baru kali itu ada percakapan intens.
Sebelumnya, bertemu ya karena agenda formal, seperti rapat dinas, atau pertemuan suara sastra yang bersifat komunal.
Dan sosok Pak Krisna memang hangat, humble, sehingga orang mudah akrab dengannya.
Kamis, 13 November 2025 tersiar kabar beliau telah berpulang. Kabar ini teramat mengejutkan. Sebulan sebelumnya masih hadir di acara milad ke-3 Suara Sastra.
Tinggal menghitung hari beliau akan pensiun dari jabatan terakhirnya sebagai asisten bidang perekonomian dan pembangunan sekretariat daerah Kabupaten Blitar.
Selepas pensiun beliau mungkin akan lebih sering menulis atau membacakan puisi.
Selamat jalan Pak Krisna, terima kasih atas hal-hal baik selama ini. []



