1. Ketika Aku Lahir
Tentu sangat mengejutkan ketika Emakku bilang aku lahir di Rumah Sakit Aminah.
Di tahun 1992, Rumah Sakit tersebut sudah terkenal, dulu masih RSIA (Rumah Sakit Ibu dan Anak), berlokasi di selatannya ex. Kawedanan, Jalan Veteran Kota Blitar.
Sekarang sudah berpindah di jalan kenari menjadi Rumah Sakit Islam Aminah, singkatannya masih RSIA.
Adikku saja lahirnya di klinik bidan, depan lapangan Kademangan. Sekarang klinik tersebut sepertinya sudah tutup.
Dulu rata-rata orang melahirkan di bidan, masih ada yang di rumah, lewat bantuan dukun bayi. Lahiran di rumah sakit adalah kemewahan tersendiri, apalagi untuk golongan kelas menengah ke bawah.
Perihal kenapa aku bisa mendapatkan “previlese” di sana, emak tak terlalu ingat dan aku tak sempat bertanya ke bapak.
Tentunya bukan karena itu rumah sakit yang dikelola Muhammadiyah. Karena keluargaku bukan berlatar belakang Muhammadiyah.
Emakku adalah perempuan dari pesisir Pantai Serang, bapakku adalah anak keluarga biasa yang tak terlalu kental agamanya, meskipun buyutku berwajah agak timur tengah.
Mungkin ada percampuran keturunan, walaupun mbahku ya berwajah Jawa, hanya berhidung mancung, dan konon aku lah cucu yang “mewarisi” hidung mancung tersebut.
Uniknya, mbah putri dari bapak bisa menulis arab pegon, dan justru tidak bisa huruf latin.
Sepertinya perempuan dari jalur keluargaku justru lebih berpendidikan dibanding anak laki-lakinya.
Bayangkan, Emakku 7 bersaudara, dia satu-satunya perempuan, namun justru yang paling tinggi pendidikannya, yaitu SMEA.
Kakak dan adik-adiknya yang laki-laki bahkan SD pun tak lulus. Ini agak paradoks apalagi di kultur pedesaan, pedalaman pula.
Jangan bayangkan desa Serang saat ini yang sudah dikenal karena wisata pantainya.
Dulu desa tersebut sangat terisolir, jalan berkelok-kelok melewati hutan dan jurang, minim penerangan.
Jalan menuju rumah mbah (dari Emak) masih berbatu. Butuh perjuangan tersendiri untuk menuju tempat tersebut.
***
Saat aku lahir, keluarga kami masih indekos di rumahnya Mbok Ni. Rumah itu masih ada hingga sekarang, meski sudah mengalami renovasi.
Jika sesuai peta saat ini, rumah tersebut berlokasi di utara Indomaret Klece, ada bengkel, masuk ke barat, itulah rumahnya.
Indomaret Klece dulunya adalah toserba, terkenalnya toko Pak Kaji atau Mariyah, nama Istrinya.
Toko tersebut dulunya menjadi pusat belanja mulai dari sembako, kebutuhan dapur, kayu bakar, semen, dll.
Toko tersebut sangat masyhur sebagaimana nama pemiliknya, salah satu orang kaya pada zamannya yang bergelar Haji dan selalu memakai peci putih.
Saat itu, bapak masih kerja serabutan, rencananya membuka bengkel, alat-alat perbengkelan sudah dibeli.
Namun rezekinya justru jualan bakso keliling, hingga tiga tahun berikutnya kami bisa berpindah ke rumah sendiri, sepetak tanah warisan Mbah Buyut di pinggir kali.
Itulah rumah yang kutinggali hingga sekarang, tak terlalu ada perubahan bentuk, hanya sedikit polesan agar terlihat layak.
Aku lupa persisnya, namun saat masuk TK, aku sudah menempati rumah tersebut. Kira-kira TK usia 4 tahun.
Aku bersekolah di TK Al Hidayah Ringinanom, Sumberjati. Lembaga yang dikelola oleh LP Maarif NU.
Sorenya, ngaji di TPQ Rodhotul Adfal. Meskipun itu milik KH. Basori, namun kurikulumnya ikut LP Maarif, pun saat sesi wisudanya.
Jadi, sejak kecil aku adalah santri Maarif, belajar dengan sistem CBSA, pernah hafal mars ayo santri santri Maarif. []
Otobiografi Ahmad Fahrizal Aziz
