10 populer curl

Ironi Guru Honorer, Ketika “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” Jadi Alasan Tidak Sejahtera | HISTORIA.ID


Setiap 25 November, linimasa kita penuh ucapan terima kasih untuk guru. Tetapi di balik perayaan Hari Guru Nasional, ada kenyataan getir yang jarang disentuh: profesi guru—khususnya guru honorer—masih terjebak dalam ironi panjang. Inilah inti dialog yang dibahas Historia.ID dalam Dialog Sejarah bersama Iman Zanatul Haeri (P2G) dan moderator Ubaidilah Muchtar. 

Obrolan yang seharusnya kita dengarkan lebih sering, karena masa depan pendidikan tak mungkin lepas dari kualitas hidup para pengajarnya.

Ketika Frasa “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” Jadi Pembenaran

Iman memulai dengan kritik klasik namun tajam: frasa “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” selama ini terdengar mulia, tetapi sering dipakai sebagai legitimasi bahwa guru harus rela berkorban—bahkan tanpa kesejahteraan yang layak. Pengabdian dijual sebagai moral, sementara hidup guru justru tak terjamin.

Padahal sejarah mencatat, guru pernah menjadi kelompok terhormat. Di era Hindu–Buddha, Brahmana memegang otoritas pengetahuan. Di masa kolonial, guru berubah menjadi motor perlawanan melalui organisasi PGHB (Persatuan Guru Hindia Belanda) yang revolusioner. Bahkan pada masa pendudukan Jepang, profesi guru masih cukup layak secara ekonomi.

Semua berubah di Orde Baru. Obsesi menjadi PNS melahirkan struktur yang rumit dan akhirnya melahirkan fenomena “guru honorer”—fenomena yang ironisnya, tidak ditemukan di banyak negara lain. Indonesia unik karena punya praktik “ngajar dulu, baru status menyusul”. Dan status itu sering tak kunjung datang.

Kasta Guru di Indonesia, Dari Gaji Dolar hingga Gaji 300 Ribu

Menurut P2G, peta kasta guru hari ini sangat timpang:

  • Guru ekspatriat (gaji dolar)
  • Guru sekolah internasional lokal
  • Guru swasta elit
  • Guru PNS
  • Guru P3K
  • Guru honorer Honda (kadang setara tukang sapu)
  • Guru honorer murni (dibayar dari dana BOS, bahkan terancam dihapus jika kuota 20% diberlakukan)
  • Guru PAUD yang bahkan tak diakui sebagai guru—gaji rata-rata hanya Rp300.000 per bulan

P2G merumuskan lima pilar utama untuk menyelamatkan profesi guru: kesejahteraan, kompetensi, distribusi, rekrutmen, dan perlindungan. Sayangnya, pilar pertama—kesejahteraan—masih paling rapuh.

Di Lapangan, Beban Administrasi, Kurikulum, dan Rekrutmen yang Tak Menyentuh Akar Masalah

Setelah pandemi, guru dibebani sampai 70 aplikasi digital untuk administrasi. Alih-alih mengajar, mereka tenggelam dalam pelaporan. Kurikulum Merdeka pun belum benar-benar merdeka, karena guru masih diburu target administratif.

Rekrutmen ASN tidak menutup gap: dengan 16.000 guru pensiun setiap tahun, proses seleksi cuma memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya. Guru honorer kembali tersisih.

Padahal, menurut UU Guru dan Dosen 14/2005, negara punya kewajiban menjamin penghasilan layak. Karena itu, P2G mendorong adanya upah minimum guru non-ASN melalui Peraturan Pemerintah—agar gaji guru tidak lagi bergantung pada “status”, tetapi pada fungsi profesionalnya.

Tahun 2025, pemerintah mengumumkan kenaikan UMP nasional 6,5% bersama kenaikan pendapatan guru/ASN. Tetapi tanpa standar minimum untuk guru honorer, peningkatan tersebut belum menyentuh akar ketimpangan.

Soal Perlindungan Guru, Banyak UU, Minim Penerapan

Secara hukum, profesi guru dilindungi oleh enam undang-undang besar, dari UU Sisdiknas hingga peraturan-peraturan turunan Kemendikbud. Tetapi Iman menegaskan, minimnya sosialisasi dan lemahnya solidaritas membuat perlindungan itu hanya berhenti di atas kertas.

Kasus kriminalisasi guru pun sering terjadi: seorang guru bisa langsung dibawa ke proses pidana tanpa sidang etik profesi, padahal profesi seperti dokter punya standar etik sebelum masuk ranah hukum.

Solidaritas antar-guru—yang dulu kuat di masa PGHB—pecah sejak Orde Baru ketika identitas profesi dikotakkan berdasarkan status ASN.

Menuju Solusi, Standar Gaji, Pendataan, dan Pemulihan Martabat Guru

Ada beberapa langkah yang sedang didorong P2G:

1. Standar upah minimum guru non-ASN

Agar kompetensi dapat digugat ketika kesejahteraan terpenuhi. Tuntutan gaji ideal bahkan pernah muncul: Rp25 juta per bulan untuk guru profesional—standar negara maju.

2. Pendataan honorer ilegal melalui sejarah mengajar

Agar guru yang sudah lama mengajar tidak tiba-tiba “hilang” dalam sistem.

3. Protokol perlindungan guru

Untuk mencegah kriminalisasi tanpa kajian etik profesi.

4. Pemulihan martabat guru sebagai “penerang zaman”

Kembali pada filosofi Ki Hajar Dewantara: guru bukan konten kreator, bukan alat proyek, melainkan pendidik manusia.

5. Rekonstruksi solidaritas antar-kasta guru

Karena tanpa solidaritas, advokasi guru mudah digembosi oleh birokrasi.

Mengembalikan Akal Sehat Pendidikan

Dialog ini menyimpulkan satu hal sederhana: mustahil menuntut kualitas pendidikan jika guru tidak sejahtera, tidak terlindungi, dan tidak dihargai martabatnya.

Guru adalah fondasi peradaban. Tetapi jika fondasinya rapuh, apa yang bisa kita bangun di atasnya?

Pertanyaan yang seharusnya terus kita ulang:
Bagaimana mungkin masa depan bangsa kuat, jika orang yang mendidik masa depan itu sendiri hidup tidak layak?