Sebuah Kota



Jalanan itu masih sepi, sama seperti sepuluh tahun yang lalu, ketika riak-riak tawa bersenda dengan deru kendaraan yang sesekali menguntit ke dalam imaji perkotaan. Sebuah kota adalah sebuah surga baru, new heaven, kata Kuntowijoyo dalam one foreign shores. American Images in Indonesia Poetry yang ditulis 25 tahun silam.

Dia mengatakan “... In the city, wind unremitting, knock on the windows, wakes the old woman asleep on the sofa ...” di kota, angin tak berhenti mengetuk jendela, membangunkan perempuan tua yang tertidur di sofa.

Kata-kata itu menegaskan bahwa kota adalah puisi tua yang dirindukan. Ia menawarkan keramaian dan kerlap kerlip mewah lampu jalanan. Angin tak berhembus dari langit, tapi menyembul pelan dari balik jendela gedung-gedung mewah. Kota adalah tempat yang sangat artificial, sebuah surga baru ; surga buatan yang nyaman dan menggiurkan.

Tak heran, jika kemudian jutaan jejak kaki hijrah dari jalanan sepi ini menuju sebuah imaji yang riuh, sesak dan ramai. Imaji tentang sebuah tempat yang mampu menyelamatkan banyak hal : Karir, masa depan, pergaulan, dan mungkin saja percintaan. Kota –sekali lagi—mengutip Kuntowijoyo, adalah new heaven (surga baru) bagi siapapun, jejaka ataupun perempuan tua.

“... A grey building hides her chihuahua, who plays with the tips of its ears, on the legs of the chair. Where sometimes there sit children and grandchildren on a christmas vacation visit ...” gedung kelabu menyembunyikan chihuaha, memainkan ujung kupingnya kepada kaki kursi, kadang duduk disitu anak dan cucu yang datang pada libur natal.

Tapi kali ini, aku akan bercerita tentang perempuan tua yang hidup menyendiri dalam keramaian kota, dalam megahnya gedung, dan kerlap-kerlip lampu jalanan. Ia, di usia yang tersisa, membaca jejak keramaian yang mulai biasa, tak lagi istimewa, tak lagi seperti masa dimana kota adalah new heaven, ketika keramaian menggiurkan dan menawarkan banyak hal, dan ia pun akhirnya paham jika imaji tetaplah suatu yang musykil. Fatamorgana yang hilang dalam kebekuan.

Sebagaimana kota dan sebuah surga baru, ia hanyalah khayalan yang sedu. Seperti nampak namun menjebak. Ah, sejak dulu, sejak Don Quixote hingga supernova, sejak itulah imajinasi menjadi sebuah komoditi. Ia menjaga kewarasan dalam kemusykilan angan-angan. Termasuk angan-angan tentang new heaven yang beralih menjadi lost heaven (surga yang hilang). Hingga kini, ketika kota bukankah sebuah “angan-angan” dari angin saja, tapi sudah berdesal di pelupuk mata.

Sesekali berdiam sambil mengulang sajak Kuntowijoyo “... The suddenly feels, the apartment’s unfriendly that she’s an awkward guest ...” tiba-tiba ia merasa apartement itu tak ramah lagi, seolah ia penunggu yang ceroboh.

Setiap hal memang harus kita bayar, entah banyak entah sedikit, seperti kita yang tega meninggalkan perempuan paruh baya menyendiri dalam malam yang sunyi, berteman suara jangkrik, kodok, dan angin yang berhembus. Kini tak perlu berkeluh ketika kita merasa sendiri dalam bising perkotaan, disebuah gedung yang tinggi menjulang, dan setiap jam angin mengetuk dibalik jendela.

Lalu lintas dan keramaian itu hanya akan menjadi kenangan silam, yang siapa saja ingin lekas melupakannya. Seperti sajak kosong ini “..di dalam keramaian, aku masih merasa sepi, sendiri memikirkan kamu ...” kamu?

“... The entire city is alien to her, the world is exiling her of that she is sure ...” Seluruh kota sudah menjadi aneh baginya, dunia sedang mengasingkannya dengan pasti. Perlahan-lahan, kitapun tak akan selalu nyaman dengan keramaian ini, sampai tiba akhir pekan atau libur panjang, dan kita bisa kembali ke jalanan sepi ini. Yang tak terdengar deru kendaraan, tak tersulap oleh lampu-lampu jalanan, dan angin berhembus dibalik pohon-pohon besar.

Sebuah kota memang ramai, namun sebenarnya menawarkan kesepian yang mencekam.

Bandung, 11 Juni 2014
A Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak