Guru ngaji (Ustadzah) saya, tepatnya yang pernah mengajar saya waktu kecil, ternyata menaruh konsentrasi terhadap isu hijab yang sempat santer. Mulai dari banyaknya tersangka hingga terdakwa kasus pidana, yang notabene perempuan dan sebelumnya tidak berhijab, tiba-tiba berubah drastis. Sebenarnya, ustadzah tidak mengomentari berubahnya penampilan para terdakwa tersebut, melainkan justru mengomentari komentar dari sebagian pihak, terutama yang berkata bahwa itu upaya untuk menghancurkan Islam. Ustadzah saya justru bertanya balik, bagaimana Islam bisa dihancurkan oleh orang yang menggunakan hijab?
Ditambah, muncul statement bahwa Hijab dan Moral adalah dua hal yang berbeda. Hijab adalah perintah Allah, dan Moral adalah hal lain diluar itu. Ustadzah saya membaca statement tersebut dari beberapa postingan di media sosial. Nampaknya ia gelisah sekali.
Bagi dia, Hijab adalah ukuran ketaqwaan. Perempuan yang bertaqwa, atau yang meyakini ajaran agama yang ia anut, terutama Islam, tentu akan menjalankan perintah agamanya. Termasuk, kalau perempuan menggunakan Hijab. Meskipun belakangan, secara fiqiyah, ternyata Hijab pun masih bisa didebatkan secara tekstual. Tapi bagi Muslimah kebanyakan di Indonesia, Hijab adalah kewajiban teologis. Itu artinya Hijab menjadi bagian integral dari keimanan dan ketaqwaan.
Bagaimana mungkin, Iman dan Taqwa bisa lepas dari Moral. Sementara Islam sendiri, selain mengajarkan akidah juga mengajarkan Akhlak. Bahkan Nabi Muhammad Saw diturunkan untuk menyempurnakan Akhlak. Lebih lanjut, Guru saya justru khawatir jika yang mengatakan “Hijab dan Moral adalah dua hal yang berbeda,” mereka sudah tersusupi benih-benih sekularisme. Apalagi jika Hijab diyakini sebagai kewajiban, sama wajibnya dengan Muslim yang mengharuskan sholat. Jadi, bisakah dikatakan Sholat dan Moral adalah dua hal yang berbeda? sementara ada ayat yang berbunyi Innasholata tanha anil fahsya iwal munkar.
Tapi Ustadzah juga menjelaskan, tak masalah jika ada orang berkata “Hijab dan Moral adalah dua hal yang berbeda”. Selama dia tidak menyakini itu sebagai kewajiban teologis, setidaknya secara tafsir fiqiyah, melainkan hanya sebuah budaya dan fashion. Karena kalau hanya budaya dan fashion, maka tidak berbicara soal keimanan. Misalkan ada yang menggunakan hijab sebagai fashion, tentu tujuannya untuk mempercantik diri, bukan karena kewajiban atau tuntunan agama. Jadi tak perlu dilekatkan dengan moral.
Bagaimanapun juga, meskipun Hijab hanya sekedar simbol, tapi itu adalah simbol keyakinan dan ketaqwaan. Masyarakat, masih menilai bahwa yang berhijab berarti mengikuti ajaran agama, itu berarti dia beragama, karena beragama berarti ia bermoral/berakhlak. Para Muslimah tak perlu khawatir karena Hijab digunakan oleh para tersangka kasus pidana, justru harus bangga, karena berarti Hijab memberikan ketenangan bagi mereka, dan itu berarti saat manusia berada di titik terendah, gairah spiritualitasnya muncul. Salah satunya dengan berhijab.
Jadi, --kata Ustadzah—tidak perlu sinis sampai mengatakan Hijab dan Moral adalah dua hal yang berbeda. Toh, sekarang Hijab kan sudah menjadi fashion, ada gelombang Hijabers, ada yang jualan Hijab Syar’i. Model Jilbab pun macam-macam. Kini banyak orang menggunakan Hijab karena tren. Jadi, kalau ada orang berhijab kok masih berbuat jahat. Jangan salahkan Hijabnya, salahkan orangnya. Meskipun Hijab bukan ukuran kebaikan, tapi orang yang berhijab selalu berharap untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Apalagi, orang berhijab pun dengan alasan masing-masing. Mulai dari trend, pencitraan politik, hingga keimanan. Apa dia berhijab karena trend? Apa dia berhijab karena aturan lembaga? Apa dia berhijab karena ketaqwaan? Entahlah. Soal niat dan hati. Hanya Allah yang tahu.
Baiknya, kita tidak saling berprasangka. (*)
Blitar, 16 Maret 2015
A Fahrizal Aziz
(Thanks untuk Ustd. Siti Masitoh)
Tags:
Jilbab