"Rakyat tidak bisa mikir kalau perut lapar. Logika tidak bisa jalan tanpa logistik."
Itu adalah analogi sebagian besar orang terkait dengan urgen tidaknya agenda-agenda mengasah otak. Dalam sebuah organisasi, saya pernah mempertanyakan betapa dominatifnya pemikiran "politik ekonomi". Padahal ini sebuah organisasi yang menyebut diri organisasi dakwah.
"Ini soal perut, sangat urgen. Jangan ajak mereka berfikir berat dulu kalau perutnya masih kosong," jelas salah seorang senior yang juga sangat political viewed.
Tapi saya jadi bertanya balik. Perut kosong yang dimaksud yang seperti apa? Apa berarti, orang-orang seperti saya, yang selalu --dan tertarik-- pada hal-hal ilmiah-akademik, yang sering disebut "mikir berat-berat" itu, perutnya sudah masuk kategori kenyang sehingga otaknya bisa jalan.
Dan apa ukuran perut kosong? Kalau hanya kebutuhan alamiah, saya kira tidak. Tapi lebih pada keinginan, nafsu-nafsu lain.
Saya katakan, kalau mengikuti kehendak perut, sampai kapanpun tidak akan pernah cukup. Awalnya anda tidak punya motor. Agar bisa berkontribusi lebih baik, anda harus memiliki motor dulu. Tapi setelah memiliki motor, anda tidak akan lagi berfikir soal dedikasi, tapi akan berfikir bagaimana mendapatkan mobil.
Kehendak perut tidak akan pernah tercukupi, tidak akan pernah terpuaskan. Hasrat akan selalu ada. Maka omong kosong semata jika revolusi pemikiran harus dimulai dari revolusi perut. Yang ada justru sebaliknya.
Bicara sesuai koridor. Karena ini dalam sebuah organisasi, maka saya tidak mungkin berbicara perut saya sendiri, dan tidak mungkin berbicara soal perut. Perutnya siapa?
Kalau bicara soal perut, mestinya dalam konteks personal. Bisnis pribadi, atau setidaknya di Parpol. Perut tidak akan pernah melakukan revolusi, karena itu sumbernya hasrat dan nafsu. (*)
5 Maret 2016
A Fahrizal Aziz