Seorang senior mengajak saya ke suatu tempat yang menarik. Berputar dari kampus UIN melawati jalanan yang dipinggirnya berdiri cafe dan ruko-ruko elite diikawasan jalan Soekarno Hatta atau yang biasa disebut Soehat. Menyebrangi jembatan tua, melewati kampus polinema yang dalam pengerjaan, juga sebuah apartemen menjulang diseberang jalannya. Perjalanan terhenti di sebuah cafe yang diatasnya ada perpustakaan.
Beberapa menit kemudian, sebuah mobil terparkir di halaman. “Pematerinya sudah datang,” celetuk salah seorang yang mungkin pengelola cafe tersebut. Pemateri yang dimaksud bertubuh tinggi, wajah kharismatik, berkemeja putih. Tokoh ini sudah tiga kali jadi menteri, sekarang menjadi salah satu Watimpres. Ialah Prof. Malik Fadjar.
Tak berselang lama diskusi dimulai.
Pemateri yang konon juga pemilik cafe yang bertajuk rumah baca tersebut memberikan materi pancingan untuk diskusi. “Anda kuliah s1, semisal belajar filsafat, buku pedomannya berjudul pengantar filsafat. Misal belajar pendidikan, buku pedomannya berjudul pengantar ilmu pendidikan, artinya kuliah s1 itu hanya belajar pengantarnya saja,” ujarnya.
Selanjutnya, beliau lebih banyak berbicara soal pendidikan. Mengkritisi perihal tidak meratanya akses pendidikan, termasuk juga ketersediaan tenaga pendidik. Juga mengkritis sekolah-sekolah yang seolah seperti supermarket yang serba transaksional, untuk tidak menggunakan istilah sekedar tempat mencari ijasah, dlsb.
Feed back pun juga diberikan oleh peserta diskusi, mulai dari yang paling teoritis karena backgroundnya sebagai akademisi, hingga yang praktis karena selaku praktisi. Berulang kali orang menyitir buku ini buku itu. Berulang kali pula saya mendengar nama Paulo Freire. Saya kira itu pemain sepak bola, ternyata bukan. Paulo adalah intelektual asal Brazil yang banyak menulis soal pendidikan, yang bukunya ternyata banyak dibaca di Indonesia.
Diskusi itu kemudian ditutup dengan menikmati segelas teh hangat, dilanjutkan shalat magrib berjamaah bergantian di lantai dua, sajadah digelar diantara rak-rak buku. Baru setelah itu kami melanjutkan perjalanan lagi ke suatu tempat. Saya kira akan kembali ke kontrakan, karena seharian kuliah ternyata cukup melelahkan. “Hari ini banyak forum diskusi,” kata senior itu, ketika kami rehat di warung untuk makan malam sebelum akhirnya beranjak ke tempat lain kesebuah basecamp yang letaknya dekat dengan perbatasan Malang-Batu. Dekat pula dengan kampus UMM.
“Tema hari ini adalah posmodernism,” ungkap moderator diskusi. Sang pemateri, yang juga jebolan kampus bergengsi di Australia tersebut, menjelaskan panjang lebar apa itu posmodernism. Pematari berbicara dengan sangat lanyah, jarang ada jeda, seolah ia sudah hafal materinya. Malam itu saya seperti gerbong tua yang diseret-seret oleh kereta sinkanzen.
“Ada tanggapan?” tanya moderator, seusai pemateri menjelaskan. Beberapa orang kemudian menyahut, dengan menyitir beberapa referensi buku pula. “Kalau Marxisme ...” lanjutannya benar-benar tak bisa saya ikuti. “Tapi Gramsci juga ....” halah apalagi. “Karena itu dekonstruksi ....” entah apa yang dibicarakan, tapi sesuai diskusi saya bertanya dengan beberapa peserta tentang buku-buku apa saja yang dibaca. Salah seorang dari mereka meminta saya untuk sering-sering ikut diskusi. Tiba-tiba kantuk saya makin menjadi-jadi dan ingin lekas pulang.
***
Beberapa bulan sebelumnya, saat masih tinggal di asrama, seorang teman menggedor pintu. Siang itu tidak ada kuliah, hujan juga baru reda. Jalanan masih basah dan dinginnya membuat tubuh tak mau beranjak dari kasur. Dengan malas saya membuka pintu untuk mengikuti ajakan bedah buku di Aula Pascasarjana. Pematerinya Moeslim Abdurrahman, itu sekitar bulan april tahun 2010. Pembandingnya Dr. Saad Ibrahim. Buku yang dibedah berjudul “Suara Tuhan Suara Pemerdekaan”.
Buku itu pernah dipamerkan senior suatu malam di acara Darul Arqam Dasar II di Batu. Saat itu saya masih menjadi panitia teknis sehingga harus berjaga sembari menanti tamu yang berdatangan dari berbagai komisariat. “Ini buku bagus sekali,” jelasnya dengan wajah sumringah. Sebagai junior saya harus mendengarkan dengan seksama, atau dengan se-antusias mungkin.
Tak berselang lama, sebelum pergantian pengurus, ternyata buku itu benar-benar dibedah, bahkan mendatangkan penulisnya langsung, yang notabene adalah Intelektual papan atas negeri ini. Penulisnya adalah sahabat dekat Gus Dur. Saya dan seorang teman duduk dibarisan belakang karena datang terlambat. Senior itu nampak mencari-cari dan mendapati saya di barisan belakang. Sebelumnya, beberapa sms berjubel memenuhi ponsel saya, yang isinya sama : ajakan untuk acara bedah buku itu.
Pemateri, atau yang akrab disapa Kang Moeslim itu dengan renyah menjelaskan isi bukunya. Cara bicaranya enak, tertata, dan jenaka. “Saya ini kalau disebut intelektual, ya intelektual jalanan. Beda dengan Pak Saad, beliau intelektual yang disiplin di kampus,” barisan kalimat yang saya ingat. Tahun itu, otak saya belum mampu mencerna banyak hal yang terkait dengan isi buku, sehingga apa yang dibicarakan tak banyak saya ingat.
Feed back dari peserta juga tidak kalah heboh. Banyak buku-buku yang disitir. Saya sementara menjadi pendengar dan penikmat, entah apa yang sebenarnya saya nikmati. Kemewahan ilmu, wawasan dari orang-orang yang rajin membaca buku, tanggapan dari orang-orang yang punya tradisi membaca yang kuat, yang tradisi itu berkembang biak dalam komunitas-komunitas yang akhirnya jadi rumah bagi mereka para pecinta buku itu.
Senior saya itu, selepas purna jabatan dari ketua komisariat, lalu naik ke Cabang dan mengelola bidang keilmuan. Cocok. Orang-orang dengan tradisi membaca yang kuat biasanya memang mengelola bidang ini. (*)
Blitar, 21 Oktober 2016
A Fahrizal Aziz
(Catatan Pengingat)
Tags:
Memories