Mungkin benar apa kata seorang teman, buat apa ikut-ikutan berbicara soal Pilgub DKI Jakarta, tohjuga tidak punya hak suara. Lagipula, jarak Blitar-Jakarta cukuplah jauh, kedatipun ada eskalasi disana, dampaknya juga tidak akan terasa. Berbeda dengan kota sekitarnya, atau yang kerap disebut Jabodetabek.
Tapi tak ada salahnya juga ikut mendukung, bukan soal punya atau tidak punya suara, tapi karena Pilgub DKI Jakarta selalu seksi untuk diperbincangkan, dan juga salah satu cawagubnya adalah Mantan Walikota Blitar. Meski aku sering dengar Ruhut Sitompul (tim kampanye Ahok-Djarot) kerap salah menyebut Pak Djarot sebagai mantan Bupati Blitar.
Soal majunya Anies Baswedan diusung oleh PKS dan Gerindra, ini sungguh mengejutkan bagiku. Kiprah Anies sudah aku ikuti sejak lama. Aku memang stalker beberapa tokoh, termasuk Anies. Sampai akhirnya berkesempatan hadir di acara live Mata Najwa on kampus dimana beliau jadi narasumbernya bersama Pak Mahfud MD beberapa tahun silam.
Anies ini kan tokoh pergerakan, maka kalau ada yang bilang hanya pandai berkata-kata, sesungguhnya kurang tepat. Tidak mungkin ada Indonesia Mengajar, tidak mungkin ada kelas Inspirasi, tidak mungkin ada gerakan turun tangan, rapor positif ketika ia menjadi Mendikbud, dsb kalau hanya wacana kosong.
Serangan bertubi-tubi juga dilesatkan padanya, mulai pembentukan opini sebagai paslon yang terlalu banyak wacana, kurang berpengalaman, kurang tegas, inkonsisten, dll.
Dalam Politik memang tidak ada yang sempurna. Silahkan dicari, pasti ada saja hal-hal yang bisa kita tohok. Termasuk Ahok ketika mengacuhkan KTP yang sudah dikumpulkan teman Ahok, yang katanya ingin mengusung calonnya tersendiri tanpa intervensi partai, eh kemudian menerima pinangan partai, dan lucunya teman Ahok juga menjadi bagian dari tim kampanye bersama tim dari partai tersebut.
Apa yang dilakukan Ahok bagiku sangat fundamental. Itu soal idealisme, sikap politik. Silahkan saudara nilai sendiri. Aku respect pada Pak Djarot, dan sedih kenapa PDIP hanya menempatkannya sebagai cawagub.
Aku pun jadi ingat istilah “politik ide” yang digaungkan entah siapa, aku lupa. Kalau tidak salah Rizal Ramli. Orang kira berakhirnya rezim Soeharto itu berarti mengakhiri kepemimpinan otoritarianisme dimana moncong senjata digunakan untuk menegakkan kekuasaan.
Kala Amien Rais tampil, orang bersuka cita dikarenakan Amien Rais adalah akademisi. Maka tokoh-tokoh pro reformasi menyokongnya. Waktu di rumah B.J Habibie, andai Amien Rais bilang iya bersedia menjadi Presiden, dia akan jadi. Tapi Amien menolak karena sudah duduk menjadi ketua MPR.
Artinya begini, munculnya nama Amien Rais menjadi kabar baik bahwa kekuatan ide mulai diterima, dan menjadi preferensi publik. Maka setelah berakhirnya “rezim senjata”, orang akan bisa memilih pemimpinnya berdasar kapasitas dan kapabilitas. Ide. Gagasan.
Tapi nyatanya tidak begitu, pasca lengsernya Soeharto, yang dominan justru politik uang. Ongkos kampanye mahal, termasuk kebiasaan bagi-bagi kaos dan angpau. Publik mau merelakan suaranya hanya dengan uang 50.000 perak. Angka itu terbilang kecil, tapi kalau dikalikan 100.000 orang hasilnya bisa mengagetkan.
Bahkan untuk maju pileg level daerah pun, butuh dana ratusan juta untuk sekedar ongkos tim kampanye. Itupun belum tentu menang. Kalau begitu, hanya orang-orang berduit, atau yang punya akses dana lebih saja yang bisa nyalon, meski minim integritas dan kapabilitas.
Saat Anies maju, perbincangan di sosial media menjadi ramai. Teman-teman saya yang memang concernterhadap isu keberagaman, tetap menganggap Ahok sebagai figur ideal. Tentu itu hak siapapun dalam berpendapat. Sayangnya, isu yang dihembuskan kemudian sedikit kurang etis.
Semisal, slogan pemimpin berpengalaman. Dalam konteks pilkada, yang berpengalaman pastilah incumbent. Dalam Pilgub DKI Jakarta, pastilah Ahok-Djarot. Namun perlu diingat, sebelum Ahok-Djarot memimpin DKI Jakarta, keduanya juga belum berpengalaman. Slogan pemimpin berpengalaman sama halnya menutup pintu kompetisi.
Aku mendukung Anies sejujurnya untuk mengajak diriku sendiri dalam partisipasi wacana. Meski tidak punya suara/hak pilih. Tapi sebagaimana yang pernah kutulis dalam kompasiana beberapa hari lalu berjudul “Mereduksi Figur Anies”, mendukung Anies menurutku sama halnya mendukung politik ide.
Memang tidak mungkin sepenuhnya terlepas dari faktor uang. Minimal ongkos kampanye pasti ada. Namun masyarakat ketika melihat figur Anies, yang terbersit difikirannya bukan karena ia tokoh parpol yang memiliki jaringan politik, bukan juga karena anak salah satu mantan pejabat tinggi. Meskipun Anies adalah cucu dari tokoh pergerakan kesohor bernama AR Baswedan.
Artinya, patokannya adalah ide/gagasan. Bukan semata program, sebagaimana yang dijelaskan Anies. Kalau pendekatannya hanya program cukup bikin daftar program saja, namun harus ada paradigma bergerak. Ada program, tapi bagaimana masyarakat juga bisa tergerakkan untuk mencapai program-program tersebut. Bukan semata juga power figur, tapi juga sistem.
Maka retorika Anies yang menyebut Pilgub DKI ini sebagai “festival gagasan” tentu sangat menarik. Apalagi sikap politiknya, yang kata orang tidak konsisten, namun sesungguhnya Anies merangkul kalangan-kalangan yang selama ini dinilai berseberangan dengan sikap politik dan ideologinya.
Maka Anies benar-benar menerapkan tenun kebangsaan sebagaimana slogan yang ia galakkan. Meski ia terkena beragam tuduhan macam-macam. Begitulah kira-kira, kenapa figur Anies layak diperbincangkan secara luas, terlepas ia menang atau kalah dalam Pilgub DKI 2017 ini. []
Blitar, 22 Januari 2017