Segelas Kopi Untuk Ikatan ; Inspirasi Pinggiran
Awal tahun 2014, saya mulai tertarik untuk membuat catatan berkala berjudul “Segelas Kopi Untuk Ikatan”. Catatan sederhana seputar kegiatan bersama IMM, khususnya setelah mendapatkan amanah sebagai Kabid Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Malang periode 2013-2014.
Kenapa segelas kopi? Terinspirasi dari seringnya ngopi bersama pengurus cabang, korkom, atau komisariat untuk membahas beberapa hal, terutama berkaitan dengan Perkaderan dan Keilmuan. Ketika ngopi, saya justru jarang memesan kopi.
Ngopi sampai larut malam itu tak lain adalah untuk memikirkan agar IMM terus eksis. Terbesit pikiran, bahwa ngopi ini untuk IMM. Maka lahirlah nama, Segelas Kopi Untuk Ikatan. “segelas kopi” dalam arti yang berbeda, yaitu melalui tulisan-tulisan sederhana, yang diharapkan “seenak kopi” ketika membacanya.
Untuk menampung tulisan tersebut, maka dibuatlah blog immhope.blogspot.com . Setelah itu ada yang menampung sebagian tulisannya ke blog/web lain. Kumpulan tulisan lain pun juga bisa dibaca di inditana.blogspot.com . Kumpulan tulisan lain, sudah dikompilasi dalam dua PDF. Yaitu segelas kopi untuk Ikatan jilid I & II.
Sebenarnya dulu ada keinginan untuk membukukannya. Namun belum sempat melakukan editing lebih rapi.
Nama “segelas kopi untuk Ikatan” memang muncul, terutama ketika saya menjadi Kabid RPK. Namun sebelum itu, sudah ada beberapa catatan ber-IMM yang pernah saya buat.
Sejak mengikuti DAD akhir tahun 2009, pada dua tahun berikutnya saya menjadi pengurus Komisariat dan diamanahi tugas mengelola bidang Keilmuan (sebelum berganti menjadi Bid. RPK pada Muktamar Medan). Setelah di komisariat, idealnya ke Korkom. Namun dulu langsung ke cabang.
Sempat ada “sidang khusus” di internal IMM UIN sendiri perihal dua kadernya yang harusnya masih di Korkom, naik ke Cabang. Senior mengharapkan agar saya di Korkom dulu. Meski akhirnya mereka “merelakan” saya dan Yusuf Hamdani Abdi ke Cabang.
Sebenarnya, interaksi saya dengan pengurus PC IMM Malang sudah berjalan intens sejak akhir 2011. Kala itu PC IMM Malang, yang diketuai oleh Mas Taufik Suwardi dari Raushan Fikr dan Kabid Kadernya Mas Dodi Firmansyah dari IMM Supremasi, mengadakan LID (Latihan Instruktur Dasar), dan selesai acara saya ditunjuk sebagai Ketua Korps Instruktur.
Waktu itu pemilihan ketua korps melalui voting. Agak kurang lazim, karena biasanya Korps Instruktur itu dari bidang kader. Sementara saya sebagai kabid keilmuan, yang akhirnya dipilih menjadi ketua.
Tugas pertama Korps. Instruktur kala itu adalah pendirian IMM komisariat Universitas Kanjuruhan Malang. Agenda rutinnya adalah safari perkaderan antar kampus. Di Malang, setiap komisariat rata-rata sudah bisa melaksanakan DAD sendiri, dan sudah memiliki instruktur komisariat pula. Sehingga tugas korps Instruktur tidak begitu berat.
Setelah Musycab pada pertengahan 2012, ketua PC IMM Malang berganti ke Arif Rahmawan dari Tamadun FAI. Awalnya saya menjadi sekbid Dakwah (sekarang TKK), sementara Yusuf Hamdani menjadi sekbid Media dan Teknologi Informasi. Namun tak berselang lama kami bertukar posisi.
Pertukaran posisi tersebut agak memberatkan, karena Kabid MTI tidak begitu aktif. Bahkan lebih dari separuh perjalanan, sampai LPJ (Laporan Pertanggung Jawaban) di Musycab, saya melaporkannya sendiri. Untuk pengadaan website kala itu dibantu oleh senior dari IMM Revivalis, yang merupakan kumpulan kader Teknik Informatika (TI). Bahkan websitenya pun dibuatkan M. Iqbal Fahmi, mantan ketua IMM Revivalis yang disatu sisi menjadi Kabid Ekowir di PC IMM Malang.
Dilain hal, saya juga kadang terlibat beberapa kegiatan bidang RPK/Keilmuan yang kabidnya adalah Husein Bafaradj, Mantan ketua Komisariat Aufklarung. Bahkan Bang Husein, begitu saya memanggilnya, kerap kali mengundang saya untuk sekedar membuat konsep.
Bang Husein juga adalah kandidat kuat ketua PC IMM Malang periode itu. Saya menjagokannya, meski tiga komisariat di UIN serentak memberikan dukungan kepada Arif Rahmawan. Namun ia masih mau duduk di struktural cabang.
Ketika diundang oleh tim formatur untuk menjadi pengurus cabang, sebenarnya saya membidik bidang RPK/Keilmuan. Karena di komisariat selalu berada pada bidang itu. Namun saya sadar diri jika kemampuan Intelektual paspasan. Jika dibandingkan Mas Adam atau Cak Abdul Kholid, yang mengelola bidang Keilmuan dua periode sebelum ini, saya tak ada apa-apanya. Apalagi jika dibandingkan Mas Hasnan Bachtiar, yang juga mengelola Bid. Keilmuan sebelum era Mas Adam. Tentu jauh sekali.
Bidang RPK merupakan salah satu bidang penting di PC IMM Malang, terutama berkaitan dengan stigma politiknya sebagai Cabang yang memiliki tradisi Intelektual tinggi. Bahkan pernah dalam sebuah sambutan, ketua cabang menyebut jika Malang merupakan salah satu dari tiga poros Intelektual IMM setelah Ciputat dan Jogja.
Bagi saya itu citra politik belaka. Meski kemudian saya dimarahi banyak orang gara-gara menyebut itu citra politik. Lalu saya membuat tulisan berjudul “Pradana Boy ZTF, akankah menjadi simbol terakhir?”. Gara-gara tulisan itu saya diinbox Mas Hasnan Bachtiar dan diminta datang ke PSIF.
Kenapa kala itu saya kekeh? Karena tiap kali menyebut Intelektual dari Malang, yang terpekik adalah nama Pradana Boy ZTF. Memang tidak salah, tapi Pak Boy sudah melewati beberapa generasi. Nama-nama yang familiar berikutnya adalah Mas Subhan Setowara atau Mas Hasnan Bachtiar, namun keduanya juga sudah lewat beberapa generasi.
Yang sezaman dengan itu, belum ada yang seimbang. Memang ada Mas Adam Muhammad dan Cak Abdul Kholiq, keduanya merupakan Kabid Keilmuan sebelum Mas Husein Bafaradj. Namun aktivitas Intelektualnya lebih banyak diluar IMM.
Keraguan saya itu sekaligus otokritik, dan melihat respon. Apakah responnya hanya memarahi, menggunjing di belakang, atau responnya bersifat llmiah. Dari situ sudah ketahuan, apakah kultur IMM Malang raya itu memang intelek sebagaimana yang dipidatokan, atau hanya sekedar slogan. Salah satu yang merespon positif adalah Mas Hasnan, yang mengajak diskusi dan membuat konsep perkaderan dalam penguatan keilmuan.
Tahun itu, dunia digital juga mulai marak. Website PC IMM Malang, yang dulu beralamat di www.imm-malang.or.id(sekarang www.imm-malang.org ) diharapkan menjadi laboratorium ide. Gagasan itu kurang familiar, karena karya intelektual masih dilekatkan pada penerbitan buku atau tulisan-tulisan yang masuk ke Koran.
Menjadi Kabid RPK
Musycab akhir 2013 menciptakan nuansa yang berbeda. Tidak ada fikiran sedikitpun bahwa ketua PC IMM Malang dari kampus selain UMM. IMM di UMM begitu kuat. Musycab tersebut tidak lagi memilih langsung ketua umum, melainkan melalui sistem formatur.
Biasanya, langsung dilakukan pemilihan ketua. Bahkan ada 3 kali debat kandidat. Setelah memilih ketua baru memilih formatur. Kali ini, hanya memilih formatur, dan ketua sepenuhnya ditentukan oleh rapat formatur yang berisi 13 orang tersebut.
Komisariat mendaftarkan saya sebagai calon formatur. Tanpa dugaan, saya masuk 13 besar dan berada di posisi keempat. Voting terbanyak diraih Yusuf. Kedua dan ketiga diraih Syahrir dari IMM Adolesensi dan Akbar Atmaja dari IMM Esktra UM. Rapat formatur sedikit alot. Meskipun Yusuf mendapatkan voting tertinggi, tidak otomatis menjadikannya ketua.
Belum lagi faktor lintas angkatan. Ketua sebelumnya angkatan 2007, sementara Yusuf angkatan 2009. Diantara formatur ada angkatan 2008, yaitu dari IMM Raushan Fikr. Sebagian formatur menyebutnya lebih layak menjadi ketua.
Saya sempat menyatakan sedia menjadi ketua, meski kala itu asal ucap saja. Karena menurut panitia pemilihan, calon formatur diharapkan yang siap menjadi ketua. Karena saya masuk menjadi formatur, fikir saya ya siap-siap saja. Kan memang harus siap. Mau tidak mau.
Meski pada akhirnya saya menjadi orang pertama yang secara langsung memilih Yusuf Hamdani sebagai ketua, namun statement tentang kesediaan saya menjadi ketua, yang harusnya hanya diketahui oleh 13 orang formatur, bocor sampai ke senior komisariat.
Rapat memang sempat break 2 kali, sebelum akhirnya final menentukan ketua umum. Senior saya bahkan mengirimkan sms agar jangan rebutan. Saya tidak paham apa maksudnya rebutan, mungkin dikiranya saya dan Yusuf, yang sama-sama dari UIN, rebutan menjadi ketua. Rapat belum selesai, namun hoax sudah menyebar.
Belum lagi, ketika saya bilang agar ketua tidak dulu dari FKIP/Raushan Fikr. Karena selama ini muncul anggapan kalau ketua cabang itu rolling antara FAI dan FKIP. Misalkan, sebelumnya ketua dari FAI, sebelum itu dari FKIP, sebelumnya lagi dari FAI. Jika ketua cabang kembali dari FKIP, maka akan terjadi formasi FAI-FKIP-FAI-FKIP.
Gara-gara statement itu saya dimarahi beberapa orang. Bahkan, konon ada yang menggunjingkan. Barangkali saya yang terlalu polos, dan tidak paham politik. Makanya sedikit-sedikit dimarahi, dirasani. Setiap perkataan, meskipun begitu faktanya, dianggap tidak tepat karena nuansanya politik.
Sewaktu penyusunan struktur. Saya sempat direkomendasikan di Kabid Media, Kader, atau Dakwah. Namun Yusuf kala itu, mengharapkan saya di Bidang RPK. Secara naluriah saya memang ingin di bidang RPK. Meski ingin juga berada di bidang kader, mengingat posisi saya sebagai instruktur cabang.
Apalagi, sebagaimana saya tulis diatas, bidang RPK merupakan salah satu bidang penting di PC IMM Malang. Tapi agak was-was juga seandainya saya masuk bidang RPK, mengingat saya bukan tipe intelektual yang suka baca banyak buku, menulis buku, atau menulis Jurnal. Saya hanya orang jalanan, yang lebih banyak membuat catatan ketimbang tulisan-tulisan akademik.
Akhirnya, saya benar-benar menjadi Kabid RPK. Dibantu Prima Tahta Amrillah dari IMM Brawijaya sebagai sekbidnya. Tulisan “segelas kopi untuk ikatan” merupakan penanda jika saya adalah Kabid RPK, yang harus membuat tulisan. Meski tulisan tersebut sebagian besar tidak bersifat ilmiah.
Kadang catatan sederhana ketika mengisi materi DAD, ketika menggantikan ketum membuka sebuah acara, ketika ada kegiatan cabang, dll. Tulisan sederhana ala feature. Karena aktivitas menulis saya lebih banyak membuat berita, ketimbang menulis opini ilmiah.
Berbeda dengan kader-kader Intelektual lain yang bergiat di Pusat Studi seperti PSIF. Atau di Resist, sebuah LSM yang dirintis oleh Pak Pradana Boy, yang memang referensi bacaannya luas. Ada juga kader yang aktif mengikuti PKM (Penelitian Kompetitif Mahasiswa) dan berulang kali menjadi juara. Salah satu yang saya kagumi waktu itu adalah Deni Aditya Susanto, kader IMM Brawijaya.
Ada dua program besar yang sedang dijalankan bidang RPK. Yaitu penelitian dan kepenulisan. Untuk kepenulisan, saya punya sedikit skill. Tapi untuk penelitian, ada banyak yang lebih berpengalaman. Salah satunya Deni Aditya.
Saya masih terus menulis seri catatan “Segelas Kopi Untuk Ikatan” yang merupakan semacam “catatan pinggiran”. Nama Catatan Pinggiran memang lekat dengan esai Goenawan Mohamad. Namun “Segelas Kopi Untuk Ikatan” gaya kepenulisannya sepenuhnya terinspirasi dari Catatan-catatan Dahlan Iskan.
Entah kenapa pula, kala itu nuansa politik begitu kuat. Suasana jadi kurang kondusif. Saya merasa (atau hanya sekedar perasaan) seperti mendapatkan serangan lebih ketimbang pengurus cabang yang lain. Entah dari mana datangnya.
Saya dan Yusuf sering terjadi perbedaan pendapat. Bahkan sempat terjadi semacam konflik. Saya tidak tahu mana yang benar dan yang salah. Meski kala itu saya sering menyalahkan sikap-sikap Yusuf. Namun bisa jadi saya lah yang sebenarnya salah.
Tentu sangat disayangkan jika persahabatan yang sudah kami jalin erat harus renggang karena perbedaan sikap dan pandangan. Kadang saya pun juga sering menyerang pengurus lain melalui tulisan, termasuk pernah saya menulis agar Musycab dipercepat saja.
Tulisan tersebut barangkali melukai hati banyak orang. Sikap reaktif tersebut barangkali juga dipengaruhi oleh suasana psikologis yang tak menentu. Saya minta ampun dan mohon maaf mendalam atas peristiwa masa lalu. Saya membuat beberapa tulisan permintaan maaf yang menjadi tulisan pengiring permohonan pengunduran diri/resign sebagai Kabid RPK.
Kala itu, resign merupakan salah satu pilihan yang sulit dihindari, daripada terjadi konflik di dalam. Dengan keluar, saya pun bisa melepaskan “beban-beban konflik”, sehingga hubungan saya dan Yusuf normal kembali.
Prima pun naik menjadi Kabid RPK, dan sesuai harapan bersama, Deni Aditya masuk menjadi sekbid dan melanjutkan program. Artinya, tidak ada yang berubah sedikitpun setelah saya resign. Saya tetap membantu cabang melalui jalur kultural, melalui diskusi-diskusi sederhana. Juga hadir dalam kegiatan RPK, semisal acara Workshop Penelitian yang dihadiri Prof. Imam Suprayogo itu.
Kehadiran Deni Aditya membuat bidang RPK memiliki komunitas baru bernama KOPPI (komunitas Penulis dan Peneliti IMM). Setelah acara Workshop Penelitian, beberapa bulan berikutnya juga digelar workshop Kepenulisan.
Seri catatan “Segelas Kopi Untuk Ikatan” pun masuk jilid ke II. Jilid kedua merupakan catatan saya sebagai domisioner. Artinya bukan siapa-siapa lagi di IMM. Bukan pula pengurus Cabang.
Bersama Yusuf dan beberapa orang kader pun, kami membuat forum diskusi. Pekumpulan itu dinamakan Paguyuban Srengenge. Sangat menggembirakan ketika nama Paguyuban Srengenge akhirnya bisa dibawa ke Blitar, dengan kemasan yang baru.
Apa yang pernah terjadi di IMM adalah sebuah pembelajaran yang penting. Meski ketika prosesnya sempat terjadi gesekan satu sama lain.
Segelas Kopi Untuk Ikatan ; Inspirasi dari Pinggiran tidak hanya sebuah catatan pengiring. Namun disatu sisi itu juga filosofi hidup. Bahwa saya memang orang pinggiran. Orang jalanan.
Blitar, 14 April 2017
A Fahrizal Aziz
Tags:
Perjalanan Menulis