Pak Jaiz tentu dekat dengan banyak organisasi mahasiswa, selaku Kabag Kemahasiswaan. Dekat juga dengan beberapa pengurusnya, dan sering mengisi kajian atau sekedar sharing bersama, sembari menyelipkan motivasi hidup.
Pak Jaiz juga familiar di kalangan mahasiswa baru, yang setahun pertama wajib tinggal di Ma'had. Beliau salah satu kiai atau pengasuh, meski jarang mau dipanggil kiai, dan kami lebih sering memanggilnya Syaikh.
Namun dari semua kedekatannya dengan banyak organ mahasiswa, kedekatan dengan IMM barangkali memiliki sisi emosionalnya tersendiri. Sebab beliau alumni pondok pesantren Karangasem, salah satu Ponpes berkultur Muhammadiyah terbesar di Indonesia.
Juga, alumnus Universitas Muhammadiyah Malang. Sekalipun dulunya tidak terafiliasi dengan IMM. Kedekatan itupula, yang kadang kala bagi IMM, Pak Jaiz bukan sekedar pejabat kampus bidang Kemahasiswaan, namun sudah seperti bapak sendiri.
Sering, tiap kali IMM mengadakan agenda besar seperti misalnya mengundang tokoh PP, Pak Jaiz selalu memberi masukan, kadang memberi rekomendasi, termasuk yang terkait dengan birokrasi kampus. Bahkan tak jarang kami meminta paraf beliau pada surat yang hendak kami ajukan meminjam fasilitas kampus.
Beliau juga lihai dalam bertutur kata, memilih diksi-diksi yang tak biasa, menyelipkan kata-kata mutiara.
"Untuk sukses, harus ada yang kita korbankan," ucap Pak Jaiz suatu malam, ketika berjumpa dengan kader-kader IMM.
Kalimat itu saya renungi berhari-hari, sebab tidak tahu persis apa maksudnya, apa yang seharusnya kita korbankan? Ternyata mengorbankan kesenangan diri sendiri. Berlelah-lelah sejenak, demi meraih yang kita impikan.
"Untuk sukses, kita harus jadi pelupa," kata Pak Jaiz lagi, di pertemuan yang berbeda.
"Lupa dengan sifat malas, lupa dengan sifat pemalu, rendah diri," lanjut Pak Jaiz.
Ya, gaya bertutur Pak Jaiz memang sangat khas. Humoris, namun memiliki wibawanya sendiri.
Kelincahan Pak Jaiz dalam berkomunikasi juga nampak ketika misalkan ada gejolak di kalangan mahasiswa. Entah yang bersinggungan dengan sesama mahasiswa, atau dengan birokrasi kampus. Biasanya masalah tersebut tak berlarut-larut, dan cepat teratasi.
Meski sempat saya berbeda pendapat dalam satu hal, yaitu ketika Pemira 2010, ketika suasana ricuh, ketika pada akhirnya calon dari PMII dimenangkan dengan berapapun suara yang terkumpul, sebab TPS dirusak oleh sekelompok oknum.
Pak Jaiz mengharap IMM memperkuat struktur BEM-U, dan saya salah satu yang tidak sepakat soal itu, sebab berarti IMM menerima hasil pemira. meski ya, pada akhirnya IMM dapat beberapa posisi di BEM-U, sebagai Anggota dan Wakil Menteri.
Tetapi, tentu tidak mudah menetralisir suasana genting tersebut. Hebatnya, kasus yang sampai diliput beberapa stasiun televisi nasional itu bisa selesai dalam waktu yang relatif cepat. Tidak berlarut-larut.
***
Pernah juga pada suatu malam, selepas Isya, tiba-tiba Pak Jaiz datang ke kontrakan komisariat Revivalis di sumbersari gg. 3, yang kala itu menjadi komisariat bersama dengan pelopor.
Tanpa pemberitahuan sebelumnya, yang membuat kami para penghuni kontrakan sedikit kalang kabut sebab kondisi kontrakan yang berantakan. Tetapi, ya, Pak Jaiz begitu santai dan mengerti.
"Kalau rapi bukan sekret namanya," gurau Pak Jaiz.
Pak Jaiz juga sering menceritakan IMM kepada rektor kala itu, Prof. Imam Suprayogo.
Prof. Imam suatu ketika menelepon karena merespon tulisan saya terkait kasus korupsi yang sempat mengemuka.
Saya tidak tahu darimana Prof. Imam mendapat nomer saya, apalagi nomor yang digunakan menelepon juga bukan nomor beliau yang tersimpan di hape saya.
Dan rasanya, tidak mungkin juga Prof Imam menyimpan nomor saya, meski sempat beberapa kali berkirim pesan via sms.
Mungkin tahu dari Pak Jaiz. Sebab di ujung telepon Prof. Imam kemudian menanyakan, Pak Jaiz masih membina IMM?
Sebegitu perhatiannya, dan sekaligus selalu berharap agar aktivitas anak-anak Muhammadiyah tetap hidup di kampus UIN Malang. Sebagaimana LDK, KAMMI, dan HMI, agar kampus tetap berwarna, agar tetap muncul dialektika, agar suasana ber-fastabiqul khairat tetap terasa.
Tentu tidak mudah menjalankan hal tersebut. Mengayomi banyak organisasi mahasiswa, dan harus selalu adil dan dekat dengan semuanya. Pak Jaiz memang luar biasa.
Yang terkenang, ketika beliau menanyakan bagaimana budaya diskusi di IMM. Kata beliau, forum-forum tersebut harus tetap ada untuk mengasah kualitas kader. Bahkan kalau perlu menghasilkan kajian-kajian yang membangun.
"Berpolitik jangan terlalu kebablasan, yang penting bagaimana akademiknya, diskusinya, karena kedepan itulah yang lebih dibutuhkan, bahwa kalian punya kualitas. Saya ini sempat ditawari maju nyaleg di Ambon sana, tapi saya ingat ucapan Prof. Imam agar konsisten di akademik, padahal andaipun maju kemungkinan terpilih cukup besar," pesan Pak Jaiz.
Kalimat terakhir itu selalu saya kenang. Bahkan beberapa pesan dari beliau masih saya ingat, sebagian saya tulis di catatan kecil.
Maaf jika kami dulu sering merepotkan. Selamat jalan Ustad. Laha Al-fatihah.
Blitar, 29 Mei 2018
Ahmad Fahrizal Aziz