Obituari untuk Pak Sujoto, Penjaga Sekolah MAN Kota Blitar.
Rabu, 9 Oktober 2019
11 tahun silam awal mula saya mengenal Pak To, saat sering "memarkirkan" diri di kantin yang beliau kelola, sepulang sekolah, sembari menanti kegiatan ekstrakurikuler atau sekadar bersantai.
Kegiatan belajar kala itu hanya sampai pukul 13.45, dan saya hampir selalu pulang terlambat. Kadang baru sampai rumah menjelang magrib.
Ketika berjumpa Pak To, hampir selalu terjadi perbincangan. Terlihat sosok beliau yang ramah nan humoris, yang selalu memiliki pertanyaan atau tema untuk diperbincangkan.
Sebagai penjaga sekolah, sosoknya memang melegenda. Banyak cerita yang beliau bagi, juga kenangan akrabnya bersama siswa atau siswi terdahulu.
"Sampean punya kakak yang alumni sini ya?" Tanya Pak To suatu ketika, sembari menyakinkan pada istrinya kalau saya memang mirip dengan salah satu siswa MAN Kota Blitar di masa lalu.
Padahal saya anak pertama. Mungkin memang mirip, dan itu selalu jadi bahan perbincangan. Apalagi, konon orang itu juga berkacamata. Pak To dan Istrinya lupa siapa nama siswa tersebut.
"Ya, gantengnya sama," Puji Istrinya.
Tiap kali mengingat itu, kadang saya senyum-senyum sendiri. Sebab dalam hidup, manusia konon memiliki setidaknya 7 kembaran, ya meskipun tak selalu sama persis.
Setelah lulus, beberapa kali saya berkunjung ke kantin Pak To, terutama ketika ada kegiatan Jurnalistik.
Sejak masih sekolah pun, Pak To tahu persis kegiatan utama saya sepulang sekolah, pastilah ekstrakurikuler Jurnalistik. Sebab itu saya selalu mampir makan siang, menikmati racikan soto di kantinnya.
Pak To masih mengingat nama saya. Mas Rizal, begitu sapanya. Di antara ribuan nama alumni yang pernah berinteraksi dengannya. Tiap kali bertemu, Pak To juga bertanya tentang Adinda.
Dulu sepulang sekolah, kami memang sering bercengkrama bertiga. Kadang di kantin, di depan kelas, atau di kursi melingkar bawah pohon. Sembari menanti Adinda dijemput Ibu atau Ayahnya.
Kadang pula Pak To menawarkan diri untuk mengantarnya, juga menawarkan soto dan snack untuk mengisi perut sembari menunggu jemputan datang.
Saat bertemu, sering Dinda menyodorkan tulisan terbarunya ke saya, terutama cerpen. Pak To melihat, dan ikut membaca, berposisi sebagai penikmat dan kadang kritikus. Tentu tidak sepenuhnya, sebab itu salah satu cara beliau untuk mencairkan suasana dan mengakrabi perjumpaan dengan kami.
Itulah kenapa ketika saya berjumpa beliau selepas lulus Aliyah, selalu bertanya tentang Adinda, dan mungkin sebaliknya. Sampai pada satu momentum kami berdua bisa berkunjung ke kantin Pak To sebagai alumni.
Memang desain kantinnya sudah berubah, sebab ada beberapa bangunan baru yang disiapkan. Namun lokasinya tetap sama. Dulu kantin Pak To menghadap ke timur, ada pohon jambu di depannya.
Di terasnya ada meja persegi panjang, dan empat buah kursi panjang. Di situlah kami sering berbincang.
Sabtu lalu (5/10), saat saya ke MAN Kota Blitar untuk menengok acara diklat Jurnalistik, sebenarnya ingin sekali mampir ke kantin Pak To, namun urung terlaksana.
Padahal sudah lama saya tidak kesana, terakhir 2016 silam. Sampai terdengar kabar jika beliau sudah tiada, berpulang ke sisiNya, karena sesak nafas yang selama ini diderita.
Innalilahi Wainnailahi rojiun. Pak To adalah sosok yang melegenda, oleh karenanya banyak ungkapan belasungkawa memenuhi sosial media, dan tentu banyak orang yang mendoakannya.
Secuil kenangan dan perbincangan hangat selepas pulang sekolah dengan beliau, akhirnya hanya bisa saya tuangkan lewat tulisan sederhana ini, tentu dengan mengais-ngais ingatan, sebab lepas satu dekade berjalan.
Selamat jalan, Pak To yang Humoris. []
Alumni MAN Kota Blitar 2009
Ahmad Fahrizal Aziz
Tags:
obituari