Saya Bukan Aktivis Gender


Sejak 2019, saya terlibat dalam beragam kegiatan yang sebagian orang menyebutnya kampanye kesetaraan gender, feminisme, dan sebagainya.

Respon itu datang dari beberapa teman, yang basicly memang sangat kontra dengan isu di atas.

Tidak hanya saya, ternyata teman-teman lain yang terlibat beberapa juga mendapatkan pertanyaan serupa, bahkan dalam internal kami ada yang merasa dirinya dianggap melawan pakem agama.

Hmm... ini sangat menggelisahkan dan ingin langsung dijawab. Namun itu tidak mungkin satu per satu bukan?

Maka, konten kali ini khusus saya buat untuk menjawab pertanyaan dan (mungkin) kesalahpahaman selama ini.

1. Aktivis Gender?

Jawab :
Sebenarnya, saya tidak menolak disebut aktivis gender. Namun sebutan itu terlalu tinggi untuk kerja-kerja kecil yang saya lakukan.

Saya jelaskan dulu, kegiatan saya yang kerap disebut aktivis gender itu adalah fasilitasi dari YKP (Yayasan Kesehatan Perempuan).

Pada bulan Maret 2019 YKP mengadakan pelatihan mengundang unsur pemuda minimal usia 21 tahun. Saya ikut sebagai peserta dan setelah itulah terlibat kegiatan yang merupakan program dari YKP.

YKP sendiri dalam undangannya saat meminta ucapan selamat milad ke-20 menyebut saya sebagai aktivis peduli perempuan dan anak, bukan gender.

Memang salah satu materi yang dibahas dalam pelatihan adalah terkait seks, seksualitas dan gender.

Namun topik lebih dipertajam ke isu kesehatan reproduksi atau HKSR (Hak Kesehatan Seksual Reproduksi). Saya sendiri baru tahu istilah itu ya ketika ikut menjalankan program YKP.

2. Male feminist

Jawab :
Jawaban hampir sama seperti di atas. Setahu saya julukan male feminist itu diberikan pada Rocky Gerung.

Dan itu bukan julukan yang sembarangan.

3. Mendukung Feminisme dan Kesetaraan Gender?

Jawab :
Feminisme adalah isme, begitupun konsep kesetaraan gender sebagai sebuah perspektif.

Perspektif bisa dipakai dalam melihat situasi masyarakat. Jadi anda pun bisa memakai perspektif itu, bisa tidak.

4. Menolak perempuan jadi IRT

Jawab :
Tidak benar. Bagi orang yang kurang memahami kesetaraan gender, selalu menganggap bahwa ini upaya menyaingi laki-laki.

Padahal, perspektif kesetaraan gender tidak melarang perempuan jadi Ibu Rumah Tangga, selama itu adalah pilihan dan bukan karena "pemaksaan sosial".

5. Mendukung LGBT?

Jawab :
Ini seringkali muncul bahkan dalam sebuah sosialisasi itu sendiri.

Memang, dalam kajian seksualitas adalah istilah ekspresi dan orientasi seksual. Orientasi seksual tentu saja membahas varian yang kita sebut LGBT/LGBTQ/LGBTQI.

Mendukung tak mendukung LGBTQI adalah fenomena yang bisa kita temui di realitas. Anda pasti pernah bertemu waria misalnya. Lalu, mau mendukung atau tidak mendukung toh tetap ada, bukan?

LGBT sebagai sebuah fakta, dan dukung mendukung adalah sebuah pendapat. Sementara, saya tidak (atau belum) berpendapat soal itu.

6. Menolak pernikahan anak?

Jawab :
Bukan saya yang menolak, tapi negara lewat UU No. 16 tahun 2019. Saya hanya ikut menyosialisasikan.

7. Meskipun agama membolehkan misal lewat nikah sirri?

Jawab :
Ya terserah saja kalau mau tetap menikah. Itu bukan urusan kami. Namun kami hanya menyampaikan soal hukum yang berlaku, kesehatan reproduksi dan tak kalah penting adalah kesiapan mental.

8. Menghalangi anak nikah?

Jawab :
Tidak benar.

Memang, salah satu kemungkinan yang dilakukan adalah advokasi, ini untuk mereka yang mengalami KTD (kehamilan yang tak diinginkan), khususnya yang mengalami kekerasan seksual.

Karena faktor malu dengan masyarakat dan lain sebagainya, kadang korban harus dinikahkan dengan pelaku, yang ini tentu tidak baik bagi si korban yang sudah mengalami kekerasan fisik dan harus menikah dengan orang yang tak diharapkan.

Namun itupun terjadi, biasanya dalam kegiatan sosialisasi di masyarakat. Kami belum pernah melakukan advokasi sejauh itu.

9. Sosialisasi harusnya sama anak-anak yang rentan

Jawab :
Kami pun juga melakukan itu. Akan tetapi, jangan hanya bertindak responsif, namun juga preventif.

Anda tau begitu sulitnya menangani kasus yang sudah terlanjur terjadi. Misal, KTD.

Langkah apa yang bisa kami perbuat ketika keluarga sudah mengambil keputusan? Mana mungkin kami mencampuri urusan keluarga?

Maka langkah pencegahan itu yang bisa dilakukan, yaitu pada kelompok remaja, yang selama ini dianggap kelompok remaja pilihan di sekolah atau desa.

Pada akhirnya, pencegahan perkawinan usia anak lebih efektif jika dicegah dari kelompok mereka sendiri lewat pemahaman yang komprehensip.

Ya, katakanlah remaja pilihan, yang orang menganggap mereka udah tak perlu disosialisasi. Bukankah mereka bisa menjadi role model dan inspirasi bagi banyak anak lainnya? Maka bekal pemahaman soal kespro sangat penting bagi mereka.

10. Didanai luar negeri, jadi antek asing

Jawab :
Beberapa masih alergi dengan funding dari luar negeri. Padahal, sebagai sebuah filantropi itu hal biasa.

Lembaga negara saja banyak yang didukung luar negeri, sebutlah USAID di bidang pendidikan.

Lagipula, kalian kira Youtuber kaya raya itu kan juga dapat profit sharing dari Youtube sebagai platform luar negeri. Belum lagi TikTok dll.

Project negara juga banyak dari investasi asing. Ya sebutlah ini salah satu project SDM.

Funding itu menyesuaikan kebutuhan sebagaimana hirarki kebutuhan Maslow. Jika funding membutuhkan pemenuhan fisiologis seperti makan dan minum seperti di negara-negara konflik, hal itulah yang akan dilakukan.

Namun funding lebih diarahkan pada pemenuhan kebutuhan di atasnya seperti rasa aman, penghargaan dan ruang aktualisasi. Artinya funding ini lebih diarahkan pada pembangunan SDM.

Sementara 10 poin ini dulu yang bisa saya tanggapi. Terima kasih sudah membaca. Salam.

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak