Ramadan, Lebaran dan Keluarga yang Telah Meninggal


Menjelang bulan Ramadan, Ibu mengingatkan agar berziarah ke Makam Bapak. Ini adalah Ramadan pertama tanpa bapak yang telah meninggal Agustus 2021 lalu.

Ramadan adalah "momentum keluarga". Sejak kecil, dari keluarga lah kita mulai belajar berpuasa, ikut sahur dinihari, ke Masjid mengikuti kuliah subuh--meski saya lebih sering tertidur--hingga berbuka puasa bersama; duduk di depan televisi sembari menonton acara lawak jelang berbuka.

Suasana itu berlangsung belasan tahun, pada usia anak-anak dan remaja, sehingga begitu membekas.

Namun saya sudah terbiasa melalui Ramadan tanpa keluarga. Sejak usia 17 tahun sudah tinggal di Malang, menjalani kebiasaan baru sebagai anak asrama dan anak kos.

Saat harus #dirumahaja selama pandemi, saya juga lebih sering di rumah sendiri, sehingga tidak kaget.

Sejak 2019, Orang Tua saya berpisah dan keduanya sudah tinggal di rumah yang berbeda.

Sehingga, Ramadan tanpa Orang Tua di rumah sudah biasa, yang membedakan hanya: saat ada acara buka bersama, atau sedang agenda keluar kota, saya selalu pamit mereka berdua.

Nuansa yang hilang lainnya adalah, biasanya bapak menanyakan apa sudah punya menu berbuka? Atau pas kebetulan sedang makan di luar selalu menawarkan: apa mau dibungkuskan?

Meski sudah jarang menginap di rumah, bapak masih sering mampir karena mengurus kiosnya.

Jelang Lebaran begini, bapak selalu menyumbang minuman bersoda untuk suguhan Idulfitri. Kesukaannya adalah minuman bersoda meski sering saya ingatkan bahwa itu kurang baik untuk tubuh.

Kisah kepergian

Justru saat meninggalnya Nenek--sepertinya saya masih kelas 5 SD--begitu terasa ketika lebaran seperti ini.

Sebelum sakit keras dan dibawa ke rumah sakit, nenek sempat tinggal di rumah kami.

Sosok nenek begitu terkenang karena setiap kali berkunjung selalu membawa snack banyak sekali, bisa satu karung plastik ukuran besar yang membawanya harus dipanggul.

Dalam perjalanan dari rumahnya di Desa Serang, Panggungrejo, menuju rumah kami di Kademangan, nenek biasa mampir Pasar Lodoyo untuk berbelanja snack-snack itu.

Momentum lebaran seperti ini, nenek juga selalu memberi kami uang saku. Tak banyak, seingat saya uang lembaran 500 rupiah bergambar orang hutan.

Justru uang saku dari Paman lah yang paling banyak, Rp20.000,- saat itu, uang 20.000 sudah banyak. Karena seporsi nasi pecel masih sekitar Rp300-Rp500.


Setelah nenek meninggal, kunjungan ke desa terasa berbeda. Rumah tengah kebun yang biasa kami kunjungi jadi terasa sepi, lenggang, dengan foto yang terpajang tanpa ekspresi.

Saat selamatan memeringati kepergian nenek, saya selalu memerhatikan sesaji yang ditaruh di meja. Segelas kopi hitam, sepiring nasi dan jajanan. Konon itu suguhan untuk yang meninggal ketika mampir ke rumah.

Namun, sampai kopi menjadi dingin dan makanannya membusuk--sebagian mengering--tak tampak kehadiran nenek.

Baru saya memahami jika itu hanya tradisi. Kata "hanya" yang berarti sebatas seremoni tanpa pembuktian pasti. Padahal saat itu saya ingin bertemu nenek.

Saat orang sudah meninggal, konon setiap malam Jumat mereka akan datang ke rumah. Dulu saya takut akan hal itu, terutama jika ada tetangga meninggal, tidak berani ke rumahnya ketika malam Jumat karena takut bertemu nenek/kakeknya yang sudah meninggal.

Bertemu orang yang sudah meninggal rasanya begitu menakutkan, namun ketika yang meninggal adalah keluarga sendiri, pikiran tersebut sedikit berbeda.

Di malam Jumat, selepas magrib, kadang saya berdiri di depan foto bapak yang terpajang di kamar tidurnya. Berharap ada sesuatu, ternyata tak ada apapun.

Orang yang sudah meninggal tak bisa kembali ke dunia, jika bisa maka (mungkin) banyak orang sudah melakukannya.

Kepercayaan mistik yang sebenarnya bertujuan agar kita selalu ingat mati dan selalu mendoakan mereka yang telah mendahului.

Sesuatu yang membuat saya sedih ketika mengingat bapak bukanlah kepergiannya, namun ingatan tentang rasa sakit yang dialaminya: diabetes yang sudah level sangat parah.

Apalagi, dua hari sebelum meninggal saya berada di sampingnya, melihat tubuh bugarnya sebagai atlet bulu tangkis pada eranya yang kini terbaring susut dan kurus, melihat berulang kali perawat mengganti infus dan mengecek kadar oksigen dan gula darahnya.

Melihatnya susah bernapas dan harus full terpasangi oksigen karena paru-parunya penuh flek hitam. Ingatan itulah yang paling menyedihkan.

Tiap kali ingatan itu muncul, hati terasa ngilu, hanya doa yang bisa saya panjatkan sebagai penenang batin.

Namun bapak tidak meninggal karena covid19, hasil tes post mortemnya negatif dan bisa dikebumikan dengan normal.

###

Ramadan dan Lebaran tahun ini, banyak yang melaluinya tanpa orang tua, khususnya 400 lebih anak (usia 0-18 tahun) di Kabupaten Blitar yang menjadi Yatim Piatu karena kedua orang tuanya terdampak covid19.

Mereka kehilangan keluarga tersayang ketika masih belum mandiri, masih memerlukan kasih sayang dan perhatian.

Ramadan dan Lebaran yang mereka lalui menjadi jauh berbeda, bersama orang-orang baru atau kerabat dan mulai terbiasa dengan hidup barunya.

Kematian itu misteri, begitupun apa yang terjadi setelahnya, namun mereka yang sudah pergi kadang masih hidup dalam pikiran kita, ingatan tak begitu saja menghapusnya.

Keluarga adalah bagian dari "takdir biologis" yang diberikan Tuhan dalam hidup kita, tanpa bisa memilih, namun harus tetap direnungi dan disyukuri. []

Blitar, 3 Mei 2022

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir di blog ini ya.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak