Perpustakaan Bukan "Benda Mati"

Kegiatan Suara Sastra di Perpustakaan Kontainer Kabupaten Blitar. Dok/Jon

Perpustakaan menjadi bangunan biasa ketika hanya diartikan sebagai tempat menyimpan buku.

Betapapun mewah dan mahal perawatannya, posisinya tak akan beranjak dari rak-rak alumunium yang rutin difumigasi.

Berkembangnya media digital membuatnya semakin tak terjamah. Masyarakat mengalami perubahan gaya hidup dalam mengakses pengetahuan.

Gawai dan ponsel menjadi benda wajib yang harus dimiliki setiap orang, tak hanya sebagai media komunikasi, namun juga kotak ajaib pembawa informasi yang tertata sedemikian rapi lewat sistem algoritma.

Buku semakin kehilangan efisiensinya, karena posturnya yang gemuk dan pencarian halaman per halaman yang menyita waktu.

Ketebalannya membuat kening berkerut, belum lagi tuntutan zaman mengharuskan kecepatan.

Kebutuhan internet menjadi sangat vital, bahkan merangsek ke dasar piramida teori kebutuhan Abraham Maslow.

Di rumah, kedai kopi, kantor pemerintahan, tempat rekreasi dan sebagainya, orang kerap bertanya: wifinya apa?

Dua atau tiga orang dalam satu ruangan tak banyak lagi terlibat percakapan, semua menunduk, khusyuk terhubung dengan yang jauh atau menikmati konten-konten terkini.

Hingga di antara mereka mengakhirinya, berpamitan satu sama lain.

***

Namun Perpustakaan bukan "benda mati", letaknya terhubung dengan masyarakat, secara khusus para penikmat buku, kaum penyendiri yang masih memuliakan kertas-kertas berisi teks sakral tersebut.

Buku punya bau dan bentuk yang khas, serasi bersanding dengan segelas teh atau secangkir kopi, teman solilokui.

Buku juga teman jeda terbaik dari kesibukan, keletihan, termasuk kebosanan berhadapan dengan layar ponsel.

Di era sekarang, perpustakaan serupa ruang semedi, bilik spiritual, tempat menepi dari hiruk pikuk keramaian.

Para penikmat buku, atau yang mendaku pembaca dan penggerak literasi, berkumpul merayakannya.

Buku terhubung dengan banyak hal, isinya beredar di kepala banyak orang, mengisi cerita, persepsi, membentuk cara pandang manusia.

Dee Lestari menyebut buku adalah "anak kandung jiwa", terlahir lewat pergulatan rumit, kompleksitas perasaan, dan benturan-benturan realitas.

Sekilas terlihat diam seperti benda mati, berpunggung di rak-rak perpustakaan, namun ada banyak jiwa dititipkan di sana.

Jiwa itu bisa menjelma menjadi nada, cerita, pandangan atau sekadar arsip yang menjadi penghubung antar waktu. []

Blitar, 5 April 2023
Ahmad Fahrizal A.

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak