Ahmad Dahlan, Haji Rosul, dan Muhammadiyah


Tahun 1917, dalam sebuah kunjungan ke Yogyakarta, Haji Rosul berjumpa KH. Ahmad Dahlan. Pertemuan ini sangat bersejarah bagi dua tokoh reformis Islam tersebut.


Mula-mula, KH. Ahmad Dahlan mengagumi gagasan-gagasan KeIslaman Haji Rosul yang terbit berkala di Majalah Al Munir. Lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa dan menjadikannya materi untuk Madrasah Diniyah Islamiyah.


Haji Rosul pun mengagumi KH. Ahmad Dahlan melalui Gerakan Muhammadiyah. Menurutnya, wadah organisasi sangat efektif dalam menciptakan pembaharuan. Haji Rosul kemudian menjadi tokoh penggerak Muhammadiyah yang sangat militan di Sumatera Barat.


Perjumpaan itupun juga menginisiasi berdirinya "Sumatera Thawalib", sebuah lembaga pendidikan yang mengadopsi model sekolah modern ala Muhammadiyah.


Hamka mengabadikan kisah perjuangan sang Ayah dengan sangat epik dalam sebuah buku berjudul "Ajahku" (1982).


***


Pengaruh Haji Rosul sangat besar pada watak KeIslaman Muhammadiyah. Ahmad Najib Burhani, peneliti LIPI/BRIN tersebut bahkan membuat pameo: Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta, namun ideologinya dibentuk di Sumatera Barat.


Terlahir dengan nama Muhammad Rosul, 10 Februari 1879, adalah anak ketiga dari istri ketiga Syaikh Amrullah, Andung Tarwasa. Syaikh Amrullah bergelar Tuanku Kisai atau Tuanku Syaikh Nan Tuo.


Sejak belia, Rosul sudah belajar Al Quran di Sibalantai, Tarusan, Panai di bawah dua guru yaitu Tuanku Haji Hud dan Tuanku Pakih Samnun. Ia juga belajar Bahasa Arab bersama Tuanku Said, yang tak lain adalah murid ayahnya.


Menginjak usia 13 tahun, Rosul diajari Nahwu Sharaf oleh Sang Ayah, sebelum dikirim ke Sungai Rotan, Pariaman, untuk belajar kepada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf.


Memasuki usia 17 tahun, ia dikirim ke Makkah untuk memperdalam ilmu agama sekaligus berhaji. Guru utamanya di sana adalah Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi yang bermazhad Syafii.


Saat di Makkah inilah namanya berubah menjadi Abdul Karim, namun ayahnya tetap memanggilnya Rosul dengan tambahan Haji. Kemudian populer dengan panggilan Haji Rosul.


Selama di Makkah, Haji Rosul banyak mengikuti perkembangan dunia Islam, termasuk mengkaji Tafsir Al Manar karya Sayid Rasyid Ridha, melalui gurunya Syaikh Tahir Jalaluddin (murid langsung Sayid Rasyid Ridha).


Bahkan dalam biografi tersebut Hamka menulis jika Al Manar sangat mewarnai alam pikiran Haji Rosul dibanding kitab-kitab karya Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan Syaikh Muhammad Abdul Wahhab.


Sepulang dari Makkah, Haji Rosul mendapat gelar Tuanku Syaikh Nan Mudo. Gelar Tuanku adalah gelar tertinggi yang menjelaskan tingkat keilmuan Islam seseorang di ranah Minang.


Namun Haji Rosul banyak berbeda pendapat dengan sang Ayah, yang juga seorang tokoh thariqat Naqsyahbandiyah, ia banyak mengkritik kaifiat-kaifiat bid'ah yang terjadi dalam thariqat.


Haji Rosul juga mengkritik pengkultusan ulama yang berlebihan, termasuk tradisi "jemput kawin" suku yang dilakukan oleh Ninik Mamak (tokoh adat).


Haji Rosul kemudian menjadi simbol puritan kaum muda dan berseteru cukup sengit dengan golongan tua. Gagasan-gagasan KeIslamannya semakin menyebar luas ketika ia menulis untuk rubrik tanya jawab seputar agama Islam di Majalah Al Munir dengan nama pena H.A.K.A.


KH. Ahmad Dahlan adalah pelanggan setia majalah ini.


***


Pada awalnya KH. Ahmad Dahlan memang sangat anti TBC (Takhayul, Bid'ah, dan Churrofat), namun konteks yang diambil lebih pada keberpihakan sosial, terutama kepada kaum fakir miskin dan anak yatim.


Kritik terhadap tradisi keagamaan dimunculkan karena itu memperparah kemiskinan. Gerakan awalnya justru pada aspek filantropi, berangkat dari QS. Al Ma'un.


Beda halnya dengan Haji Rasul, aspek yang lebih dominan adalah teologis. Perdebatannya dengan golongan tua, pemangku adat dan penganut thariqat lebih pada faktor aqidah, makanya bercorak lebih puritan.


Secara konseptual, pengaruh Haji Rosul pun menjadi mindset ideologi yang sangat kuat di Muhammadiyah, terlebih ketika putranya, Hamka turun gelanggang sebagai Ulama besar dan opinion maker.


Dalam kurun waktu tujuh tahun dakwah Haji Rasul di Sumatera Barat, 57 Cabang Muhammadiyah berdiri. Suatu capaian fantastis yang oleh James Rush disebut Everywhere He Went, He Worked Tirelessly to Promote Muhammadiyah. (Kemanapun pergi tak kenal lelah mempromosikan Muhammadiyah).


Bukan tak mungkin jika Haji Rosul berkontribusi membentuk corak puritanisme di Muhammadiyah, sebab KH. Ahmad Dahlan sendiri pada awal berdiri Muhammadiyah justru lebih banyak terjun di bidang sosial dan pembaharuan dakwah/lembaga.


Sementara keduanya saling terhubung, bahkan pernah belajar di bawah guru yang sama yaitu Syaikh Ahmad Khatib.


KH. Ahmad Dahlan kagum dengan gagasan pemurnian Haji Rosul, pun Haji Rosul yang kagum dengan KH. Ahmad Dahlan dalam membangun gerakan dakwah. 


Maka tak heran jika Muhammadiyah dipilih sebagai kendaraan dakwah, dan bukan tak mungkin tulisan-tulisan Haji Rosul di Majalah Al Munir juga menyumbang terbentuknya ideologi Muhammadiyah.


Tabik,

Ahmad Fahrizal A.

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak