Rasa lapar membuat kami mampir di sebuah kedai, plang neonnya bergambar mangkok merah bertuliskan mandarin.
Apakah ini kedai makanan? Kami sempat berdebat sebab display dari luar tak seperti warung makan.
Setelah masuk, seorang dengan pakaian serba hitam menyapa, kami membuka buku menu dengan beragam variasinya.
Ada Nasi Goreng, Bakmie, Bihun, CapCay dll. Nasgornya ada 7 jenis, mataku tertuju pada Nasgor Thailand.
Menu signature di kedai ini adalah Chicken Steak, Mie Hotplate LH dan Mie Tomyam SF. Signature biasanya adalah menu unggulan kedai.
Kami mencari tempat duduk belakang, suasana retro dengan lampu sorot kuning, sisi selatan dilengkapi atap gavalum merah bertuliskan by rancak.
Tak berselang lama pesanan datang, Nasgor Thailand bewarna putih pucat, ada beberapa potongan kacang panjang, irisan ayam kecil-kecil, dan beberapa cabai utuh. Teman saya memesan bihun.
Aku memang lebih suka Nasgor putihan, tanpa saus merah atau kecap. Putihan saja dengan bumbu wajib bawang putih, bawang merah dan garam, khususnya kalau lagi bikin sendiri di rumah.
Tambahannya paling telur ceplok, irisan pentol, sosis, itupun jika tersedia.
Tak ada keramaian di kedai ini, sejak dari depan, meski lokasinya di jalur pusat Kabupaten. Mungkin lagi sepi saja.
Di google maps, kedai ini tampak ramai dengan cukup banyak ulasan meski baru beberapa bulan buka.
Rasa masakannya? Sayang, aku bukan seorang pengicip handal, bagiku cukup enak meski para pengicip profesional akan mempertanyakan soal diferensiasi.
Harga yang tak murah bisa jadi dampak dari komposisi bumbu, beberapa kedai memang menggunakan bumbu otentik meski sekilas tak jauh beda dengan bumbu racik instan.
Saat memasak nasgor, aku biasa mengoseng bawang merah dan putih dalam waktu tertentu agar meletupkan gurih alami, tanpa harus ditambah micin.
Bagi yang lidahnya sudah mesra dengan micin, mungkin terasa hambar.
Nasgor Thailand di kedai ini terasa pas, seimbang, mungkin sudah ada takarannya, meski belum ada diferensiasinya.
Atau semua nasgor itu sebenarnya sama, jika merujuk pada rumpun ras Asia. Satu nenek moyang, hanya saja dibalut sentuhan lokal masing-masing.
Namun melihat desain kedai, lokasi, seragam karyawan, kedai ini cukup terkonsep, modalnya mungkin cukup besar, perpaduan melayu-china.
Banyak gambar tertempel di bagian depan, termasuk foto Bung Karno, lampunya terang benderang.
Tak perlu khawatir, sebab kedai ini bertuliskan: halal dan toyyib. Semoga. Sebab tidak semua makanan halal itu toyyib, dan toyyib sudah tentu halal, kan?
Tabik,
Ahmad Fahrizal Aziz