Kalsita



Barangkali nama ini tak pernah terdengar nyata. Hanya dalam fantasi, dan itu menjemukan. Tetapi bagi penikmat kata-kata, imajinasi adalah sebuah hiburan mahal. Tak ternilai materi, dan lucunya banyak yang mempercayai. Setidaknya mempercayai adegan beserta alur dan seperangkat doktrin terselubung yang hendak diwariskan kepada yang membaca. Sebagaimana nama Kalsita, seorang perempuan yang duduk di bangku taman bersama Soe Hok Gie malam itu.

Kalsita hanya perempuan jawa biasa. Ia hidup ditengah hiruk pikuk perkotaan yang pengap kala itu, sekitar tahun 1965. Jangankan lelaki begundal, pejabat elite pun terpesona olehnya, termasuk Bapak bangsa kita : Ir. Soekarno. Lucu memang, siapa Kalsita ini? namanya aneh, tak merepresentasikan gadis jawa. Ia justru lebih cocok menjadi bebatuan granit. Batu Kalsit.

Jika kita kembali ke masa itu, sekitar tahun 1965, ada sosok muda yang berapi-api. Namanya masih disebut hingga saat ini. Ialah Gie, atau lengkapnya Soe Hok Gie. Dalam catatan seorang demonstran (CSD), Gie tak pernah sekalipun menjelaskan siapa Kalsita, keturuan siapa dia dan hidup dimana. Kalsita adalah utopia dalam kekinian. Jika menelisik perannya, tentu sangat besar. Kalsita menjadi tumpuan hidup seorang Gie yang garang dan misterius itu. Bahkan (barangkali) hanya di pundak perempuan bernama Kalsita inilah, Gie pernah menangis.

Saya percaya, dibanyak kesempatan, peran perempuan sangat besar. Hanya saja, ia tak terlalu memiliki panggung di ruang publik. Sebagaimana Kalsita, sebuah imajinasi yang nyata dan (mungkin saja) ada. Herlinatiens, telah membuat lelucon yang beralasan. Setiap kali membaca kalimat demi kalimat yang dibuatnya, saya membayangkan berulang-ulang rupa dan perawakan Kalsita. Oh Kalsita.

Kalsita sangat mencintai Gie. Hanya saja, Gie tak pernah mampu ia rengkuh, hanya imajinasi haru. Pada akhirnya, Kalsita berjodoh dengan Perwira Untung, bukan Gie. Meskipun, telah banyak yang Kalsita lakukan untuk Gie, mulai dari merayu Soekarno dan membujuk Jenderal Ahmad Yani. Jika menguliti perannya, maka sosok Kalsita patut kita kenang sebagai perempuan pengoyak sejarah. Ia tak kalah dengan Kartini, Syarifah Nawawi, Rasuna said, atau Nursyahbani Katjasungkana.

Kalsita adalah perempuan yang tak terjamah realita, sebagaimana Dara Jingga, putri Dharmasraya atau Tribhuwana Wijayatunggadewi. Dan saya –sebagai lelaki kekinian—merasa bangga mengenalnya, mengikuti alur cerita yang dibuatnya, dan bersenda dengan provokasi sejarah yang dikoyaknya. Jika memungkinkan, saya ingin memohon kepada Tuhan agar dipertemukan dengannya, berbincang banyak hal sambil minum teh bersama.

Teringat sajak Gie “...lampu-lampu berkelipan di Jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. Kau dan aku berbicara. Tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita...” (Gie-Sebuah Tanya)

Apakah Gie berbicara dengan Kalsita?

Lanjutnya “... Haripun menjadi suram, kulihat semuanya menjadi muram. Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. Seperti kabut pagi itu...”

Dan sejauh kita menelisik masa lalu, mencari siapa Kalsita, menyusur lorong-lorong kota yang sunyi, tetap saja, Kalsita tak akan pernah kita temukan dalam kekinian, atau dalam realita yang empiristik. Karena sekali lagi, perempuan tak terlalu punya panggung dalam ruang publik. Meskipun perannya sangat kuat dan mengakar. Termasuk Kalsita.

Ada atau tidaknya, Kalsita hanya sebuah tokoh fiksi dalam novel “Malam untuk Soe Hok Gie” karangan Herlinatiens. Tapi dari hati terdalam, saya berharap sosoknya ada. Karena Kalsita merepresentasikan banyak hal : perempuan cerdas, tangguh, jelita dan mengagumi serang demonstran. Disatu sisi, ia mampu menaklukkan kegarangan Soekarno dan Jend. Ahmad Yani.

Oh Kalsita. Kapan kita bisa bertemu?

Catatan si Fahri
Blitar, 16 Juni 2014

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak