Kita tak harus sama, dek


different

Setiap hari ingin sekali aku pergi ke planet mars, agar aku bisa hidup dengan banyak mahluk asing yang tak mengenalku. Atau setidaknya, aku selalu berharap, selepas bangun tidur, aku mendapati diriku ternyata selama ini tengah terlelap dalam mimpi dan aku ternyata hidup dengan keluarga dan lingkungan yang benar-benar berbeda. Namun sayangnya, itu hanyalah khayalan kosong. Aku tetaplah aku yang sekarang.

Entah di rumah, sekolah, atau setiap sudut lingkungan. Orang-orang selalu menyamakanku dengan Kak Eksel. Mereka bilang aku berbeda, aku tak sehebat kak Eksel. Nilai raporku pas-pasan, dan kerjaanku hanya menggambar. Sementara Kak Eksel, ia selalu berprestasi. Juara kelas, menang olimpiade, penurut dan segala hal positif lainnya. Bahkan, ia mendapatkan beasiswa penuh s1 di sebuah kampus yang bonafit.

Jika tengah dihadapkan pada moment-moment tertentu, Papa selalu bilang “tiru itu kakak kamu, jangan kayak gini terus.” Atau Mama juga selalu bilang “Kakak kamu itu pinter, Mama harap kamu bisa seperti dia.” Itu belum termasuk Guru-guru di sekolah dan para tetangga yang mencoba melihat Eksel dalam diriku, yang itu tak pernah mereka temukan.

Meskipun, aku sendiri tak pernah tahu seperti apa reaksi kak Eksel. Apakah ia akan senang, dan menertawakan kekalahanku. Kekalahan bahwa aku tak bisa sehebat dia. Entahlah. Tapi dia memang selalu diam, sejak masih SMA, sebelum kuliah keluar kota.

Hari ini, saat tiba liburan semester, Eksel pasti pulang ke rumah. Dan itulah moment dimana aku berada pada titik terendah. Bisa dibayangkan betapa orang-orang rumah dan tetangga akan dengan mudah berkata “Itu kakak kamu, pinter. Kamu kok nggak?” sebuah kalimat justifikasi yang sangat menyakitkan. Andai mereka menyadarinya. Dan selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, aku telah menjadi pelengkap penderita dari sebuah objek bernama Eksel dan Subyeknya adalah mereka semua. Kesal sekali.

Memang. Aku tak mahir matematika seperti Eksel. Aku juga tak pandai berbahasa. Untuk itulah aku tak pernah diikutkan dalam olimpiade, ataupun turnamen-turnamen lainnya. Nilai-nilai mata pelajaranku sangat standart. Dan kerjaan rutinku hanya menggambar. Itulah kebahagiaan satu-satunya yang aku miliki dan sekaligus kelebihan yang tak pernah diakui.

Kenapa begitu? Karena Eksel tak bisa menggambar. Gambarannya sangat jelek. Beberapa kali aku bilang ke Papa kalau aku punya banyak kelebihan dari Eksel, salah satunya menggambar, namun Papa tak pernah mau mengakui. Dan menurutku, itu sungguh tak adil.
***
Sore ini, Papa menyuruhku untuk menjemput Eksel di stasiun. Ia akan melalui liburan semester kuliahnya di rumah. Aku mengiyakan tanpa harus protes. Aku menjemput Eksel tepat pada jam kereta berhenti di stasiun. Seperti biasa, wajah Eksel memang selalu datar. Wajahnya terlalu serius dan kurang ekspresi. Meskipun sesekali mencoba melempar senyum.

Eksel tak langsung menyuruhku mengemudikan motor menuju rumah. Ia meminta berbelok ke suatu tempat. Kami terhenti disebuah sanggar seni. Disana banyak sekali lukisan-lukisan. Eksel menemui pemiliknya, dan mereka terlihat akrab.

“Ini adik saya, dia pandai menggambar,” Eksel mengenalkanku kepada lelaki paruh baya bernama Pak Mahmud tersebut. “Jadi, kapan saya boleh memulai belajar melukis dengan Pak Mahmud?” lanjut Eksel.

Aku terkesiap mendengarkan hal tersebut. Eksel ingin belajar melukis? Untuk apa? Belum sampai pertanyaan itu aku lontarkan, Eksel sudah lebih dahulu mengajakku pulang. Dalam perjalanan, pikiranku masih berkelindan perihal keinginan Eksel untuk belajar melukis.

“Kakak buat apa mau belajar melukis?” tanyaku.
“Ya, pengen bisa aja, dek.”
“Buat apa bisa melukis? Kakak kan sudah punya segalanya.”
“Punya segalanya?”
“Ya. Kakak memiliki banyak hal yang tak aku miliki.”

Eksel terdiam sejenak. Lalu menjawab, “Tapi selama ini kakak tak pernah merasa memiliki segalanya, dek. Kakak tak pernah merasa lebih dari siapapun.”

“Apa? Kakak tak pernah tahu jika selama kakak di Jogja, aku disini menjadi obyek penderita? Semua orang mengukurku dengan kakak. Dan itu menyebalkan.”

“Kakak nggak tahu, dek. Tapi ...”
“Tapi apa?”
“Kita kan tak harus sama dek. Kakak bisa menulis, tapi tak bisa melukis. Dan kamu bisa menggambar dengan baik. Kakak pengen kita saling melengkapi sebagai saudara. Bukan saling meniru. Sekarang pun, kakak belajar melukis bukan untuk meniru siapapun.”

“Jadi, selama ini kakak ...”
“Iya. Selama ini kakak hanya menjangkau sesuatu yang bisa kakak jangkau. Tak pernah berfikir untuk melampaui siapapun. Karena kakak tak mau mengukur diri dengan orang lain. Menurutku, setiap orang punya caranya sendiri untuk tumbuh. Dan mereka hanya perlu mencari tahu bagaimana ia bisa tumbuh dan dalam hal apa.”

“Jadi, kakak tak seperti Papa dan Mama?”
“Tidak. Kakak pun juga tak pernah meminta kamu supaya menjadi seperti kakak, kan? karena kakak yakin kamu bisa tumbuh sesuai caramu sendiri. Dan selama ini, kakak juga belajar untuk tumbuh dengan cara kakak sendiri.”

Aku terdiam agak lama. Menghayati kalimat terakhir yang diucapkan Eksel. Tiba-tiba ada rasa sedih di hati. Kenapa? Karena ternyata selama ini Eksel telah berusaha menjadi dirinya sendiri, dan justru aku sendirilah yang mencoba mengukur banyak hal dari hidupnya.

20 September 2014
A Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak