La Barka



Saya sempat ngototdengan guru BK yang waktu itu memberikan pengarahan terhadap penjurusan. Kala itu, Guru BK sebisa mungkin menyarankan saya masuk IPA, atau minimal IPS. Tapi saya tetap dengan pilihan pertama : Bahasa. Saya sangat tertarik sastra dan sudah mempersiapkan diri jikalau nanti masuk jurusan bahasa, akan banyak membaca karya sastra. Novel pertama yang saya baca kala itu adalah La Barka, karangan N.H Dini.

Sedikit bercerita, saat itu di sekolah saya terdapat tiga penjurusan : IPA, IPS dan Bahasa. Selama ini, jurusan Bahasa selalu dinilai sebagai jurusan yang tak populer. Dan biasanya, jurusan bahasa adalah tempat pelarian bagi mereka yang tak bisa masuk IPA atau IPS. Kala itu, rata-rata teman sekelas saya menjadikan bahasa sebagai pilihan kedua. Pilihan pertamanya mayoritas IPA. Hal itupun juga disarankan ke saya, namun saya mantab untuk memilih bahasa sebagai pilihan pertama dan IPS sebagai pilihan kedua. Tak tertarik sedikitpun untuk masuk IPA, meskipun jurusan itu sangat bergengsi.

Stigma yang ada, kalau anak IPA itu pinter-pinter. Kalau anak bahasa itu nakal-nakal. Tak sedikit yang terbawa stigma itu, sehingga banyak anak yang mengurungkan diri untuk masuk kelas bahasa. Dari 9 kelas waktu itu, ada 6 kelas IPS dan 2 kelas IPA, kelas bahasa hanya satu. Lucunya, ketika angkatan saya, justru kecenderungan itu tak terbukti. Anak bahasa baik-baik dan pinter-pinter. Hehe

Nakal memang harus, menurut saya. Tapi nakalnya argumentatif. Saya pernah protes kepada guru BK yang ketika memberikan saran siswanya, selalu dikaitkan dengan prospek yang bersifat materiil. Misalkan saja, ketika saya memilih untuk mengambil jurusan bahasa, dengan lekas guru BK menjawab : Prospeknya tak jelas, nanti kuliahnya susah, mau kerja apa?. Hal seperti itu, menurut saya bukan arahan yang mencerahkan dan menunjukkan sempitnya wawasan.

Kala itu, saya menjelaskan bahwa tak semua siswa nanti menjadi PNS atau menjadi guru. Yang jurusan bahasa, mungkin saja tertarik untuk menjadi penulis, kerja di penerbitan, menjadi jurnalis, dan lain-lain. Justru prospek itu sangat luas. Jika orientasinya hanya PNS atau hanya Guru saja, tentu sempit sekali. Yang saya pikirkan waktu itu, bisakah kita menikmati suasana dikelas? Saya sudah berdiskusi dengan teman-teman yang memilih IPA dan rata-rata mereka memang suka hal-hal eksak. La saya? Jangankan suka, dengar kata Kimia, fisika, biologi saja sudah pusing kepala ini. Bagaimana mungkin akan menikmati pelajaran?.

Akhirnya saya memilih jurusan bahasa dan mengasah kemampuan berbicara dan menulis. Sekaligus tertantang untuk membaca karya-karya sastra jaman dulu. Dan kebetulan sekali, saya aktif di ekstrakurikuler jurnalistik dan kebetulan pula, ketika kelas dua didaulat sebagai ketua. Dalam satu sisi, apa yang menjadi minat saya dan apa yang saya pelajari di sekolah sangat sejalan. Menurut saya, inilah pendidikan yang membebaskan.

Dalam jurusan bahasa itu, ada pelajaran sastra indonesia dan porsi untuk pelajaran bahasa indonesia, inggris dan arab sangat berlebih. Tambah satu lagi pelajaran yang menarik, yaitu Antropologi. Ketika ujian nasional, yang diujikan adalah Matematika, Bahasa Indonesia, Inggris dan Arab. Antropologi dan Sastra Indonesia. Dan tahukah kalian,  lagu Dewa19 (roman picisan) juga muncul di soal ujian nasional kala itu. maka ketika ada nama Jokowi muncul di ujian nasional, saya tak kaget. Dulu-dulu juga sering begitu soalnya.

Memang menjadi konsekwensi logis, bahwa jurusan bahasa itu harus banyak membaca dan (mungkin) menulis. Terutama karya sastra dan yang serumpun. Kebetulan, waktu ke perpustakaan, saya menemukan satu novel berjudul “La Barka”. Sebenarnya ada novel lain. Ada Burung-burung manyar karya Y.B Mangunwijaya, Ronggeng dukuh paruk karya Ahmad Tohari, dan sekuntum nozomi karya Marga T. Saya memilih La Barka karena judulnya sudah asing sekali. La Barka.

Bagi anak SMA seperti saya, novel La Barka lumayan berat dan bikin pusing. Saya diskusi dengan guru sastra waktu itu, namanya Pak Sugeng Rupianto, beliau jebolan Unair (Universitas Airlangga) dan memang bacaan sastranya cukup banyak. Pak Sugeng menjelaskan, kalau mau membaca karya sastra yang ideologis ya karya-karya seperti itu. Kecuali kalau mau baca novel-novel yang bersifat entertaining, baca saja novel-novel tenlit atau novel-novel lupus.

La Barka sendiri menceritakan seorang perempuan jawa bernama Rina yang menikah dengan orang Perancis. Rina adalah seorang katolik yang semasa kecilnya hidup dilingkungam biarawan. Ia –dengan kesadaran intelektualnya—tak lagi pergi ke gereja, namun masih percaya bahwa Tuhan dan hari akhir itu ada. Kalau konteksnya Muslim, sosok Rina ini sejenis gnostical. Ia tak mau shalat tapi masih percaya kalau Allah itu ada.

Novel ini lebih mirip buku diary, dimana sosok Rina bercerita tentang pernikahannya yang kandas, dan sembari lembaga hukum mengesahkan perceraiannya, Rina menghabiskan waktu disebuah tempat milik temannya yang bernama Monique, tempat itu disebut La Barka. La Barka terletak disebuah desa sebelah selatan Perancis. Rina mendeskripsikan La Barka sebagai tempat yang indah dan eksotik. Di La Barka inilah, dia mengenal banyak teman dengan berbagai karakter, termasuk dua lelaki yang akhirnya dekat dengannya.

Novel La Barka ini merupakan novel yang sangat dialektis. Di dalamnya, orang akan diajak kedalam pola pikir Rina. Ia mengajak tentang kebebasan hidup ber-Tuhan tanpa gereja, kebebasan untuk tak percaya terhadap lembaga hukum yang notabene buatan manusia, tentang percintaan yang tak mengenal usia, serta tentang kegigihan seorang perempuan jawa yang mengasuh anak perempuannya.

Jujur, di usia saya kala itu yang masih 16 tahun, tak mudah mencerna dan memahami novel-novel sejenis La Barka ini. namun Pak Sugeng menjelaskan : Kalau masih awal-awal ya terlihat berat, tapi kalau udah terbiasa bakal ringan. Makanya dimulai dari sekarang. Pak Sugeng juga menjelaskan, kalau novel-novel seperti itu justru mengajak pembaca berfikir, tak hanya terhibur dengan ceritanya, tapi juga mengajak manusia berfikir untuk memahami kehidupan yang membuatnya bijaksana.

Karena hal itulah, saya mulai membaca semua novel yang ada di rak sastra perpustakaan kala itu. Novel-novel lama seperti Karmila dan Sekuntum Nozomi karya Marga T. Lalu Dibawah lindungan ka’bah dan tenggelamnya kapal van der wijk karya Buya Hamka. Layar terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana. Kubah, lintang kemukus, ronggeng dukuh paruk, dan Jentera bianglala karya Ahmad Tohari. Dan lainnya yang saya lupa. Ketika membaca novel itu, reaksi pertama saya “Apa ini? kok ndak paham-paham.” Hehe. Karena jujur, cerita dalam novel itu lumayan berat untuk diambil maknanya.

Maka, ketika kuliah dan dipertemukan oleh novel karya Ayu Utami, saya seperti bernostalgia dengan novel La Barka ini. Novel Ayu Utami yang berjudul “Cerita cinta Enrico” misalkan, meski berbeda alur cerita, namun mengangkat tema tentang kebebasan dan pernikahan. Rupanya, jauh-jauh hari sebelum muncul Ayu Utami, kita telah punya penulis “feminis” yaitu N.H Dini. Jika ingin karya Ayu Utami yang agak ekstrim, tak ada salahnya membaca Saman dan Larung.

Akhirnya saya menangkap, bahwa membaca novel tak hanya sekedar hiburan atau mengisi waktu luang, tetapi juga media untuk belajar yang efektif. Apalagi kalau novel-novel memiliki muatan filosofis, budaya, realita sosial dan tentunya perspektif-perspektif lainnya.

Dan pengembaraan panjang saya membaca novel-novel itu, hingga sekarang ini, dimulai dari La Barka. Novel terakhir yang saya baca berjudul “Perempuan dibalik Tirai” yang merupakan karya saya sendiri. ^_^ mohon tunggu versi cetaknya di toko buku terdekat. Aminn...

Blitar, 15 Juni 2014
A Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak