Setelah magrib, suara motor Fredo terdengar memasuki halaman. Aku duduk di sofa ruang tengah, menonton acara berita. Kebiasaan sejak masih sekolah. karena tidak ada yang lebih menarik dari berita. Berita sekarang banyak yang menghibur, dan lebih dramatis dari sinetron.
“Nggak pengen keluar?” tanya Fredo sambil meletakkan helm di meja depanku.
“Aku malas keluar. Keluar kemana? Nggak ada yang menarik dari kota ini.”
“Sssh.. sombongnya mentang-mentang sekarang jadi anak Jogja.”
Fredo duduk disampingku yang tengah serius menyimak dialog terkait kasus korupsi yang menjerat salah satu anggota DPRD DKI Jakarta.
“Gila, itu presenter apa foto model?”
“Mana foto model?”
“Itu,” sambil menunjuk Anchor yang tengah membawakan berita. “Kenapa nggak jadi model aja, kayaknya dia perfect boy,” lanjutnya.
“Kenapa harus jadi model?”
“Kan tampang dan bodinya mendukung.”
“Apa yang seperti itu harus jadi model?”
“Ah, tau lah.”
Fredo beranjak dari sofa dan berjalan menuju lemari es. Dia mengambil dua botol minuman bersoda beserta sedotannya.
“Kak.”
“Hmm...”
“Lama kita nggak ngobrol gini.”
“Iya lama.”
“Dulu hampir tiap pulang sekolah.”
“Iya,” jawabku sekenanya karena masih fokus pada dialog di televisi.
“Kayak ada yang hilang!”
Aku tertawa terbahak. Lalu menirukan adegan yang tadi diperagakan oleh Fredo diatas panggung : Bagaimana rasanya mencintai seseorang yang hanya bayang-bayang?
Namun raut muka Fredo semakin tak bergairah.
“Aku jadi bingung membedakan mana drama dan mana kesungguhan. Karena dalam melakukan drama, kita selalu menghayati bahwa seolah-olah itu sungguhan. Menurut kakak pertunjukan tadi drama atau sungguhan?” tanyanya.
“Drama yang sungguhan,” jawabku sambil tertawa kecil.
“Kalau sekarang, kakak sedang drama atau sedang sungguhan?”
“Ha?”
Aku menatap wajah Fredo yang masih asyik menghisab minuman sodanya dengan sedotan.
“Dunia ini adalah panggung sandiwara,” jawabku.
“Aku nggak percaya,” jawabnya sambil berdiri dan terlihat hendak berbicara serius.
“Jika dunia ini adalah panggung sandiwara, kenapa juga kita susah bersandiwara. Ada hal-hal yang tak bisa kita tentukan sendiri.”
“Oh ya?”
“Ya. Termasuk dengan siapa kita jatuh cinta.”
“Oh.”
“Ya?”
Aku hanya mengangkat bahu dan menggelengkan kepala. Fredo menunjukkan botol minumannya kepadaku.
“Kita bisa memilih apa yang kita minum, tapi tidak untuk apa yang kita cinta. Kita hanya bisa bermain drama pada hal-hal yang bisa kita tentukan, tapi tidak dengan apa yang tak bisa kita tentukan,” ucapnya, yang lebih mirip orang pidato.
“Kisiwi cantik,” aku menajamkan topik,
“Ya. Semua orang juga tau dan mengakui kalau Kiswi cantik.”
“Dan kamu juga tampan.”
“Ya. Ya... oh ya?”
Fredo tertawa terbahak.
“Perempuan yang cantik dan Lelaki yang tampan akan nampak serasi sekali,” jelasku.
“Ya. Dalam drama.”
“Dalam drama?”
“Ya. Sayangnya, masyarakat kita adalah tipe yang haus akan drama. Hati memiliki polanya sendiri, tak seperti rumus fisika atau rekasi kimiawi. Mungkin ada dua zat yang sama namun saling bereaksi.”
Tiba-tiba celoteh Fredo nampak begitu membosankan untukku yang bukan anak IPA ini. Dia terus berceloteh panjang lebar, sementara aku fokus pada acara berita di televisi.
“Kak Ray,” panggilnya.
Dia duduk disampingku dan menyandarkan kepalanya di pundakku. Mungkin dia sudah lelah berpidato.
“Aku senang kakak datang dalam pertunjukan hari ini. Ini pertunjukkan terakhirku sebelum ujian akhir sekolah, setelah ini aku tak ingin main drama lagi. Aku lelah.”
“Lelah?”
“Ya.”
Kami pun terlibat perbincangan panjang. Seperti sebelum sebelumnya, hingga kami tertidur di sofa. Lewat tengah malam aku terbangun karena lengan kananku kesemutan. Televisi masih menyala, menayangkan garis-garis pelangi dan suara berdenging. Aku lekas mematikannya. Fredo tertidur pulas dibahuku.
“Do, do..” ia hanya beringsut, tak ingin kenyamanannya terganggu. Aku pun juga memejamkan mata kembali.
***
Mataku terbuka perlahan, aroma dua cangkir kopi menggodaku. Di belakang rumah, terdengar suara Fredo berhitung. Aku berjalan gontai menghampirinya. Tak ada yang berubah, setiap pagi Fredo runtin olahraga. Aku berdiri di dekat pintu, menonton Fredo push up sambil menyeruput kopi. Kopinya enak sekali.
“Ini kamu yang buat?” tanyaku sambil menunjukkan cangkir.
“Bukan. Tadi aku beli di warung Mbak Yuyun.”
Sudah kuduga. Tak mungkin Fredo membuat kopi seenak ini.
***
Hari ini Fredo menemaniku di rumah sampai sore, dan mengantarku ke stasiun. Jadwal keretaku jam 15.45. Fredo mengantar sampai peron stasiun. Kami tiba di stasiun 30 menit sebelum jadwal keberangkatan. Di kursi tunggu stasiun, kami duduk berdua sambil menikmati bakpao isi kacang yang Fredo beli diluar stasiun tadi.
“Menurut kak Ray Kiswi cantik?” Fredo membuka perbincangan.
“Ya. Cantik sekali. Dia pacar barumu?”
“Bukan lah.”
“Bukannya kamu sering gonta ganti pacar?
Fredo hanya tertawa kecil. “Kan aku udah bilang. Aku lelah bermain drama,” jawabnya.
“Drama?”
“Ada orang yang punya banyak kekasih, tapi dia tak pernah merasa jatuh cinta kepada kekasih-kekasihya.”
“Jadi, Kiswi?”
“Kata Iren, teman sebangkunya, dia suka sama aku.”
“Lah. Terus?”
Fredo tak menjawab. Ia menghabiskan cuilan bakpao terakhirnya.
“Kamu nggak suka sama Kiswi?” tanyaku.
“Mungkin aku bisa menjadikan dia pacar.”
Aku semakin bingung. Setahun tak bertemu, Fredo berubah layaknya filosof yang kata-katanya susah dicerna. Atau memang aku yang sejak dulu susah memahami juniorku ini. Padahal hubungan kami sudah seperti adik kakak.
“Aku sudah jatuh cinta, tapi sayangnya bukan dengan kekasih-kekasihku. Tapi itu jadi alasan untuk mengartikan lagi apa makna kekasih,” lanjut Fredo.
Kereta api malabar tujuan Blitar-Bandung lewat Jogja sudah merapat. Aku bersiap-siap naik.
“Keretanya udah datang Do,” jawabku.
“Kakak kapan lagi balik ke Blitar. Setahun dari sekarang?” tanyanya.
“Aku nggak tau, aku hampir nggak punya alasan untuk kembali ke Blitar, karena rumah selalu sepi.”
“Oh.”
Kereta api itu berhenti agak lama, karena kras dengan kereta lain dari Kediri. Aku dan Fredo masih duduk di kursi tunggu peron stasiun.
“Setelah lulus aku akan lanjut kuliah ke Bali, dan mungkin kita tak akan bertemu dalam waktu yang lama sekali. Lamaaaa sekaliiiiii,” jelas Fredo.
Aku tertawa geli mendengarnya. Ekspresi wajahnya memang menyakinkan, benar-benar aktor teater yang berbakat.
“Aku berdoa yang terbaik untukmu. Aku masuk dulu ya?” pamitku.
“Eh kak, bentar.”
“Uhm...”
Fredo mengeluarkan sebuah bingkisan padaku.
“Apa ini?”
“Sesuatu!”
“Sesuatu?”
“Yap. Udah cepet masuk sana, bentar lagi kereta mau berangkat,” pintanya.
Kami saling bersalaman dan berpelukan. Rengkungan Fredo begitu erat. Tak seperti biasanya.
“Sampai jumpa, Kak Ray.”
Aku mengangguk pelan, lalu berjalan menuju kursi nomor 19B. Kursi sebelahku masih kosong semua. Aku duduk sambil menautkan headseat di telingaku, lagu ‘Rahasia Hati’ dari Element langsung menyambutku. Sembari mendengarkan lagu lawas itu, aku membuka bingkisan dari Fredo. Sebuah parfum spary, parfum yang biasa aku gunakan. Secarik kertas menyertainya.
Ada sesuatu yang berbeda, sejak aroma parfum ini hilang dari tubuhmu. Meski banyak orang menggunakannya, tetap tak sama. Mungkin aku akan merindukannya dalam waktu lama. Meski kau tak pernah peduli. Sejak kau mengajarkan teknik drama, satu hal yang selalu aku ingat. Seindah apapun drama, tak mungkin lebih indah dari kenyataan. Aku lelah bermain drama.
Lonceng stasiun pun berbunyi. Kulirik Fredo masih duduk di peron stasiun. Ada apa dengan anak itu? bathinku. Kemudian aku merobek secarik kertas dan menuliskan sesuatu dengan spidol hitam.
Drama bukanlah khayalan. Tapi angan-angan tentang realitas, mimpi, dan suara hati. Semangat!!!!!
Kereta sudah berjalan melambat. Ada pedagang asongan yang hendak turun. Aku menyelipkan uang 5000 dan secarik kertas itu kepadanya, meminta memberikannya kepada anak muda berjaket merah yang tengah duduk membatu di kursi peron itu.
Perjalanan dari Blitar ke Jogja ini terasa sedikit berbeda. Parfum yang masih tersegel ini seolah berbahasa. Sejak kuliah ke Jogja, aku sudah tak menggunakan parfum merk ini. Tapi ternyata masih ada yang mengingatnya. (*)
Malang, 1 Januari 2016
A Fahrizal Aziz
Tags:
Cerpen