Periode Kehidupan


Ahad, 31 Mei 2020

Hidup memiliki periodenya. Namun di antara periode panjang, ada periode-periode pendek yang harus kita isi.

Itulah yang pernah saya rasakan sesaat setelah kelulusan Aliyah. Satu periode telah saya lalui, periode sekolah menengah atas. 3 tahun terasa cepat berlalu.

Kami berpamitan dengan para guru, mengharap doa terbaik untuk masa depan. Salah satu guru, mengharap saya sering-sering main ke sekolah.

"Jangan lupa tengok adik-adiknya lho," Ujar beliau, pembina Ekstrakurikuler Jurnalistik kala itu.

Beberapa hari setelah lulus, saya pergi ke Malang. Berkunjung ke kampus-kampus. Keinginan untuk kuliah jurusan Bimbingan Konseling masih membuncah. Namun takdir berkata lain.

Mengisi liburan, sekaligus penantian pengumuman SNMPTN (Tes tulis), saya ikut kemah kepenulisan di sebuah Villa yang indah di daerah Songgoriti, Kota Batu.

Di tengah hawa dingin yang menyesap dan suara tonggeret yang bersahutan, refleksi itu semakin kuat.

Sebentar lagi saya akan masuk periode baru, sebagai mahasiswa. Apa saja rencana yang perlu dipersiapkan?

Refleksi pada periode kehidupan itu semakin kuat, ketika saya ikut sebuah organisasi.

"Kalian hanya 4 tahun di kampus ini, apa yang mau kalian lakukan?" Tanya salah satu senior.

Rasanya, seperti beradu dengan waktu. Padahal kita tidak tahu, apakah jalannya akan semulus seperti yang kita harapkan?

Pada periode itu, mungkin saja ada tragedi dalam hidup kita, yang membuat semuanya buyar dan kita harus menata lagi dari nol, atau melanjutkannya dengan tertatih-tatih.

Atau mungkin juga, kita kehabisan jatah usia. Siapa tahu, semuanya misteri.

Teman sekelas saya kala Aliyah, sempat merencakan akan menerbitkan novelnya. Dia suka menulis, fiksi fantasi, berbahasa Inggris pula.

Namun Tuhan memanggilnya saat saya belum sempat melihat novel itu terbit. Ia lebih sibuk bergelut dengan penyakitnya, ketimbang mengedit atau menyusun draftnya.

Saat saya datang untuk takziah, jenazahnya sudah siap dimakamkan tak lama setelah ambulan yang membawanya tiba.

Di samping pusaranya, saya tertegun cukup lama. Menatap lekat nama lengkapnya yang kini tertulis di sebuah batu nisan.

-00-

Memang benar kata pepatah, perjalanan paling melelahkan adalah perjalanan yang tanpa tujuan.

Membuat target bisa jadi sebuah cara menentukan tujuan. Menyusun apa saja yang harus kita capai dan lakukan, meski sangat mungkin itu berjalan tak sesuai rencana. Ada banyak faktornya.

Di beberapa organisasi yang saya ikuti, saya membuat list terkait apa saja yang harus saya capai.

Sebab rasanya seperti bertaruh dengan waktu. Kapan saya musti aktif dan kapan saya musti melakukan regenerasi.

Jika itu telah dilalui, kita bisa lanjut untuk memasuki periode berikutnya. Periode di organisasi A, periode di organisasi B, dan seterusnya.

Sama ketika kita melalui beberapa periode hidup. Periode saat SD, SMP, SMA, Kuliah dan seterusnya.

Periode saat mulai berkeluarga. Periode saat menjadi suami, ayah, sampai periode dalam jenjang karir tertentu.

Sebenarnya, ada banyak periode yang kita lalui, serta selalu ada kesempatan untuk memulai periode baru, dengan harapan baru pula. Tanpa bayang-bayang masa lalu.

Sesungguhnya, hidup kita memiliki banyak lembaran baru. Ada banyak alasan untuk memaafkan masa lalu dan bilang : yuk kita mulai lagi.

Di antara rencana yang kita siapkan pada periode baru itu, mungkin ada banyak yang meleset. Namun ada juga yang melebihi target.

Disitulah ruang kita untuk berdoa, setelah usaha-usaha keras sudah dijalankan.

Dalam setiap periode yang kita jalani, sangat mungkin terjadi transformasi. Ada perubahan dalam cara kita bersikap serta memandang hidup.

Sebab kita tidak bisa menduga kapan periode terakhir kita. Pada fase mana dan pada pencapaian apa. Kita hanya perlu berusaha. []

Kedai MuaRa
Ahmad Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak