Rasanya sudah lama saya di FLP Blitar, sejak 2008, menjadi salah satu panitia pendiri, di usia 16 tahun.
Tak lama setelah itu, saya naik kelas XII dan fokus pada beragam ujian akhir di sekolah.
Saya diajak Bang Yopi menjadi panitia karena basic sebagai ketua Ekstrakurikuler Jurnalistik.
Namun, 2009 harus hijrah ke Malang. Amel menyayangkan kenapa saya harus kuliah di Malang, begitupun Yughi yang juga akan merantau ke Kalimantan.
Kami bertiga adalah anggota paling muda kala itu, sebelum datang anggota baru yang masih SD dan SMP, sehingga bisa dibentuk FLP Kids.
Setahun setelah berdiri, FLP Blitar ditinggalkan anak-anak mudanya. Dari periode 2009-2015, seingat saya baru sekali datang ke acara FLP Blitar di Aula Unisba. Setelah itu tak tau lagi kabarnya.
-00-
Dugaan saya memang benar, terlalu lama saya di FLP Blitar. Setidaknya, dari 2015-2021 ini.
Secara psikis, ada perasaan jika saya paling senior (dalam angka tahun bergabung). Sehingga saya merasa sangat memiliki. Itu bisa menjadi toxic seniority.
Sebenarnya, sejak 2019 saya ingin lepas dari FLP Blitar. Sekadar jadi anggota biasa, penggembira dan tim hore.
Ternyata itu tidak mudah, sebagai komunitas, FLP Blitar sudah mulai membuka banyak relasi, beberapa masih harus saya kawal--bahkan sampai saat ini.
Pada kepengurusan 2021-2023 saya diminta menjadi pembina. Itu tidak terlalu memberatkan, bukan? pembina hanya posisi yang diminta, tidak terlibat dalam pengambilan keputusan.
Namun kadang-kadang, saya tak bisa menahan diri untuk memberi masukan, juga sering memberi kritik. Ada rasa geregetan kok begini, begitu sih.
Akhirnya ada masukan atau semacam laporan kalau itu membuat mental sebagian pengurus down.
"Takut sama mas Fahri," ungkapnya.
Saya pun merenung. Kenapa bisa demikian? Padahal saya termasuk yang terbuka pada dialektika. Artinya, apa yang saya sampaikan bisa saja salah, atau benar.
Kenapa bisa demikian? Mungkin karena saya dianggap sangat senior, hingga pada sungkan untuk sekadar menjawab atau mengklarifikasi, apalagi melawan argumentasi.
Suasana yang kurang sehat
Tentu itu bukan suasana yang sehat. Akhirnya muncul keragu-raguan, karena takut saya melayangkan kritik lagi. Akhirnya lebih baik tidak dijalankan.
Namun apakah benar demikian? Jika benar adanya, tentu itu sangat mengecewakan, bukan? Sebab kritik dalam organisasi itu bersifat kelembagaan, bukan personal.
Dari 2015 hingga ke sini, para pengurus terdahulu sudah membukakan jalan untuk FLP Blitar agar memiliki banyak koneksi.
Koneksi-koneksi itu bisa dimanfaatkan oleh pengurus dan anggota sekarang untuk upgrade skill, menciptakan ruang aktualisasi untuk berkembang dan lebih produktif lagi berkarya. Karena tidak gampang membangun komunitas menulis, apalagi di Blitar, hingga seperti sekarang.
Perihal kritik saya soal rutinan, minimnya penguasaan materi saat siaran, membuat tulisan tiap kali mengikuti kegiatan, web yang tak update, sampai instagram yang tak terkelola, saya kira itu kritik biasa saja.
Kritik lain misalnya soal tulisan, soal cara komunikasi ke lembaga ketika ada event, hingga kritik dalam kepanitiaan.
Sepertinya saya termasuk yang paling sering memberikan masukan dan koreksi, dan ternyata itu pun tidak baik, sejauh yang saya tangkap sampai saat ini.
Padahal, saya hanya berharap agar, baik sebagai individu maupun organisasi, kita tetap konsisten, punya kualitas.
Bahwa mumpung sedang duduk sebagai pengurus, ini kesempatan untuk mengembangkan diri lebih baik lagi.
Mungkin ini momentum saya untuk sadar diri jika terlalu lama dalam suatu komunitas atau organisasi itu tidak baik juga.
Bentuk apresiasi
Sudah lama sebenarnya saya ingin lepas dari FLP. Sejak 2014 dulu, setelah selesai mejabat sebagai ketua FLP UIN Malang, saya ingin break dari dunia ke-FLP-an. Di FLP Blitar, niat itu muncul sejak 2019, pasca Musycab di Kolonial Kafe.
Apalagi, setelah datang talenta-talenta baru, anggota yang menurut saya potensial dan punya kemampuan mengorganisir dan lobbying yang bagus, karena mereka sudah aktif berorganisasi sejak di sekolahnya.
Sikap kritis itu sebenarnya adalah bagian dari bentuk apresiasi, bentuk pancingan bahwa kalian mampu lebih dari ini. Meski sebulan terakhir ini saya toh juga sudah mulai diam, menjauh dari komentar-komentar, hanya memendam dalam hati.
Beberapa senior pun juga sama. Namun tidak sampai mengungkapkan, sejak dulu begitu. Hanya saya yang terlihat berkomentar agar ada keseimbangan.
Tetapi sepertinya saya harus mulai merenungi ini kembali. Mungkin diem, cuek, lebih baik.
Tentu saya tidak berharap jika FLP Blitar akan vakum lagi atau bahkan stagnan di tengah pengurus baru yang lebih banyak dari segi jumlah, lebih berpengalaman di organisasi, dan lebih punya skill dalam menulis.
Pamit
Lewat tulisan ini saya ijin pamit dari FLP Blitar sebagai pembina. Serahkan saja posisi itu ke orang lain, atau dikurangi satu.
Kepamitan ini sekaligus sebagai pembuka suasana baru: jangan terbebani lagi oleh kritik. Jalankan ide-ide besar kalian dalam organisasi, ini adalah ruang milik kalian yang bisa kalian kreasikan tanpa batas. It's ur time.
Tenang saja, sebab saya akan berhenti mengomentari segala keputusan organisasi/komunitas.
Lebih baik keliru dan gagal tapi pernah mencoba, daripada tak berbuat sesuatu karena takut salah, padahal waktu yang kita miliki terbatas.
Kapan lagi kita punya kesempatan baik ini?
Jika benar teman-teman takut bersikap dan bertindak selama ini karena ada saya, maka mulai sekarang kekhawatiran itu sudah tiada.
Saya hanya pamit dalam urusan ke-organisasian. Perihal perbincangan menulis atau literasi lainnya, saya selalu menyiapkan waktu, jika teman-teman masih berkenan. Begitupun dengan senior FLP Blitar lainnya yang sekarang terlihat cuek.
Bagaimanapun, FLP Blitar adalah komunitas yang pernah kami perjuangkan bersama-sama, namun disatu sisi juga muncul kesadaran bahwa generasi harus berganti.
Apalagi sih yang ingin saya lakukan di FLP Blitar? Hampir semua peran sudah saya lakoni, sekarang giliran generasi baru yang lebih fresh dan cute. []
Malang, 4 Desember 2021
Ahmad Fahrizal Aziz
Tags:
FLP Blitar