Buya Syafii dan Role Model Kyai di Muhammadiyah

Buya Syafii Maarif dan Santri Muallimin. Dok/Erik Tauvani

Di Indonesia, seorang disebut Kyai biasanya karena dua hal. 


Pertama, memiliki pondok pesantren. Lembaga tersebut adalah milik dirinya dan keluarga, sehingga bisa "diwariskan".


Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional yang eksis sejak abad ke-16 dan konon adalah re-modelling dari padepokan di era Kerajaan.


Mereka yang mondok menjadi santri dan menginap di tempat tersebut dalam kurun waktu tertentu.


Kyai adalah sosok kunci, patron keilmuan dan guru utama dalam pondok pesantren tersebut. Anak-anaknya pun mendapatkan julukan Gus atau Ning dan diharapkan menjadi penerus.


Rata-rata kepemimpinan tertinggi di suatu pondok pesantren diteruskan oleh anak atau keluarga lainnya.


Kedua, seorang tokoh yang memiliki Masjid atau Mushola dan menyelenggarakan pendidikan agama seperti TPQ dan Madrasah Diniyah.


Masjid atau Mushola tersebut milik pribadi dan keluarga. Sosok yang memangku Masjid dan Mushola di suatu dusun atau desa kerap disebut Kyai lokal atau kyai kampung.


Mereka adalah pemimpin keagamaan di masyarakat tersebut, terutama kegiatan tradisi seperti gendurenan, yasinan tahlilan, selametan dan sebagainya.


Kyai lokal umumnya adalah lulusan pondok pesantren. Bedanya, santri-santrinya hanya belajar sore atau malam hari dan umumnya adalah anak-anak dari warga sekitar.


Selain itu, keturunan Kyai lokal ini juga jarang yang disebut Gus atau Ning.


###

Pak Syafii dan Gus Mus


Istilah kyai memang tak begitu populer di kalangan Muhammadiyah, meskipun secara prakteknya, beberapa tokoh Muhammadiyah baik tingkat pusat hingga ranting juga menjalani tradisi "kyai" tersebut.


Kenapa bisa demikian? Ada tiga kemungkinannya.


Pertama, warga Muhammadiyah umumnya kontra tradisi dan membuat tradisi baru karena ajaran Muhammadiyah adalah tajdid (pembaharuan) dan tadjrid (pemurnian).


Tradisi gendurenan, tahlilan, yasinan, selametan dll tidak begitu berkembang di Muhammadiyah, dan kalaupun ada yang menjalankan akan mengalami de-sakralisasi nilai.


Misalnya, terjadi perubahan dalam penyajian makanan, pengantar hajatnya pun juga berubah, kadang berganti menjadi bahasa Indonesia yang lebih sederhana.


Apalagi, orang Muhammadiyah memahami tradisi keagamaan seperti itu sebagai muamalah yang bentuknya bisa disesuaikan dan diubah, bahkan ditinggalkanpun tak masalah.


Maka tak heran jika warga Muhammadiyah akhirnya tak menjalankan tradisi keagamaan tersebut dan lebih fokus pada tradisi lain yang menurutnya lebih efisien.


Kedua, sistem organisasi yang ketat dan mengeliminir kepemilikan pribadi.


Jadi misal ada tokoh Muhammadiyah yang "mangku" Masjid, sekolah atau pesantren Muhammadiyah, umumnya aset tersebut adalah milik Muhammadiyah, bukan milik pribadi.


Masjid dan Mushola yang masih kepemilikan pribadi dan sudah menggunakan nama Muhammadiyah, disarankan lekas diwakafkan ke Muhammadiyah.


Dalam konteks ini, ada semacam clash culture, karena kalau hendak ber-Muhammadiyah maka harus diserahkan ke Muhammadiyah, dan tak sedikit yang menolaknya.


Di beberapa daerah, masih ada Masjid, Mushola bahkan lembaga pendidikan yang meskipun bernama Muhammadiyah namun kepemilikannya masih yayasan atau dualisme antara yayasan dan persyarikatan Muhammadiyah.


Padahal, dengan memiliki Masjid dan Mushola, legitimasi Kyai itu pun didapat, terutama di masyarakat sekitar.


Banyak yang heran kenapa orang mau mengurus Muhammadiyah, berjuang membangun Masjid, Mushola, Sekolah, Rumah Sakit, Pesantren dll toh pada akhirnya diserahkan ke Persyarikatan Muhammadiyah dan tidak untuk kepemilikan pribadi.


Padahal ini hanya sebatas untuk administrasi organisasi, untuk pengelolaannya pun bisa keluarga, dan terbukti banyak Masjid dan Mushola di daerah yang dikelola keluarga dan itu tak menjadi masalah.


Ketiga, tidak adanya patron yang kuat di Muhammadiyah, karena orang Muhammadiyah tak terlalu menokohkan sosok secara berlebihan.


Warga Muhammadiyah lebih mengenal disiplin organisasi dibanding berkiblat pada sosok tertentu, karena putusan organisasi dibuat oleh para pimpinan yang juga dipilih warga Muhammadiyah sendiri melalui Muktamar, Musywil  Musyda, Musycab dan Musyran.


Orang Muhammadiyah umumnya lebih taat instruksi organisasi, ketimbang pendapat tokoh tertentu.


Buya Syafii Maarif, Kyai Muhammadiyah


Sering menerima santri kultural di Masjid Nogotirto.


Pada akhirnya istilah Kyai di Muhammadiyah punya definisi tersendiri yang agak berbeda dengan masyarakat tradisional.


Buya Syafii Maarif contohnya, Buya pernah mejabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, jabatan tertinggi di Persyarikatan Muhammadiyah.


Punya peran struktural dalam menjalankan disiplin organisasi.


Di dekat rumahnya ia juga "mangku" Masjid Nogotirto yang didirikannya bersama Menteri Agama Munawir Sadjali saat itu. Status Kyai lokal pun didapat.


Di samping itu, Buya ikut serta dalam pengembangan Madrasah Muallimin Muhammadiyah, bahkan menjadi ketua Panitia pembangunan pasca diterjang gempa besar.


Muallimin dan Muallimat adalah model pesantren ala Muhammadiyah, Buya adalah tokoh penting bahkan bisa disebut sesepuh layaknya Kyai di Pesantren tradisional.


Sekolah jenjang SMP dan SMA itu adalah lembaga yang dirikan langsung oleh KH. Ahmad Dahlan yang juga pendiri Muhammadiyah, dulu bernama Qismul Arqa.


Katakanlah, KH. Ahmad Dahlan adalah Kyai pertama Muallimin, namun status kepemilikan dibawah Persyarikatan Muhammadiyah dan dikelola oleh pimpinan Muhammadiyah.


Buya Syafii Maarif, sebagai alumni, adalah kyai di Muallimin bukan berdasar nasab/keturunan melainkan jalur santri dan organisasi.


Inilah mungkin yang akhirnya menjadi ciri khas dari terminologi Kyai di Muhammadiyah.


Yaitu tidak berdasar keturunan, kepemilikannya langsung di bawah Muhammadiyah, dan ketokohan dilihat berdasar kiprah serta dedikasi.


Buya Syafii Maarif, secara praktek (tradisional) memenuhi syarat sebagai Kyai, baik Kyai Pesantren maupun Kyai lokal.


Kyai di Muhammadiyah lahir dari dedikasi panjang dan keilmuan yang diakui, meskipun bukan anak seorang Kyai dan tidak pernah dipanggil Gus.


Namun, jika menjadi Kyai di Muhammadiyah, tidak ada kepemilikan pribadi. Semua milik Peesyarikatan.


Hal inilah yang dulu sudah didesain oleh pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, saat diskusi nama pergerakan. Ada yang mengusulkan Dahlaniyah seperti Jamaah Nuriyah yang diambil dari nama Kyai Nur, kakak sepupunya.


Lantas nama yang diambil kemudian adalah Muhammadiyah, pengikut Nabi Muhammad, mungkin agar tak terlalu ada patron dan agar Muhammadiyah bisa terus berkembang ke berbagai wilayah.


Blitar, 31 Mei 2022

Ahmad Fahrizal A.


Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir di blog ini ya.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak