HMI Adalah Sepupu IMM? Mengenang Buku Karya Pak Farid Fathoni AF

Farid Fathoni. Dok/Teropongmetro


Buku berjudul Kelahiran yang Dipersoalkan karya Farid Fathoni AF menjadi rujukan penting dalam membahas sejarah IMM.


Saat saya masih aktif di struktural IMM (2010-2014), buku tersebut, disamping buku berjudul Manifesto Gerakan Intelektual Profetik karya Abdul Halim Sani, menjadi buku yang paling banyak dikaji, dibahas dan menjadi referensi dalam beragam perbincangan baik di forum DAD, DAM hingga diskusi kultural komisariat.


Buku itu juga lah yang menjawab rasa penasaran saya ketika (dulu) ingin ikut HMI.


Singkat cerita, sejak Aliyah saya mulai tertarik dengan gagasan Islam Modernis, dan salah satu organisasi yang selalu disebut adalah Muhammadiyah.


Waktu agenda Kerohanian Islam di SMAN 1 Blitar, saya sempat bertemu aktivis IPM, namun lupa siapa namanya, wajahnya pun tak ingat, sekilas saja.


Kala itu, narasumber yang hadir adalah Prof. Dr. Zainuddin Maliki (rektor UM Surabaya, kini anggota DPR RI 2019-2024).


Karena tidak sekolah di SMA Muhammadiyah, pikir saya mana mungkin ikut IPM? Akhirnya memutuskan nanti saja saat kuliah, namun bukan IMM yang terbersit. 


Nama IMM bahkan tidak terlintas sama sekali, yang ada justru HMI.


Kenapa saya tertarik ke HMI? Mungkin karena beberapa buku yang saya baca penulisnya banyak jebolan HMI seperti Prof. Azyumardi Azra, Prof. Komarudin Hidayat, termasuk Prof. Zainuddin Maliki sendiri.


Disamping itu, beberapa artikel yang saya baca via internet di antaranya karya Buya Syafii Maarif sebagian juga sempat membahas Lafran Pane, pendiri HMI, yang menjadi dosennya di IKIP Yogyakarta.


Lafran Pane adalah orang Muhammadiyah, baik dari latar belakang keluarganya, pendidikannya, hingga mainstream pemikirannya kala mendirikan HMI.


Singkatnya, HMI dalam benak saya saat itu ya Muhammadiyah. Apalagi, memasuki semester awal perkuliahan, saya banyak membaca tulisan rektor di web pribadinya.


Rektor, Prof. Imam Suprayogo, sekilas menulis tentang Prof. Malik Fadjar dan masa lalunya saat masih aktif di HMI. Termasuk, rektor UMM saat itu Prof. Muhadjir Effendy juga sesama aktivis HMI.


Namun sebelum itu, saat tes SNMPTN Tulis (Sekarang SBMPTN), saya juga menginap di komisariat HMI Ekonomi UM, sebuah kontrakan dekat stadion UM.


Jadi, bisa dibayangkan betapa membuncahnya keinginan saya untuk begabung dengan HMI.


HMI bukan Muhammadiyah?


Namun alangkah terkejutnya saya ketika mampir ke stand pendaftaran HMI dan salah seorang mereka berkata jika HMI bukan Muhammadiyah, namun berdiri di atas semua golongan.


Kalimat "berdiri di atas semua golongan" itu justru membuat saya (sejenak) mengurungkan diri untuk mendaftar. Entah kenapa, saat itu, pikiran saya tertarik pada Muhammadiyah.


Di kampus, HMI pun juga pernah mengadakan "event tradisional" sebagaimana yang dilakukan PMII, yang memang secara ideologis adalah NU. Sebut saja acara Istigosah. Bahkan ada pamfletnya.


Lho, kok Muhammadiyah menggelar istigosah? Saya tidak mempermasalahkan istigosahnya, namun sependek pemahaman saya kala itu Muhammadiyah tidak pernah menggelar agenda seperti itu.


Sementara, saya masih mengira jika HMI adalah Muhammadiyah.


Dalam kegusaran tersebut, saya diajak oleh seorang teman (adik dari Istrinya Pak Widjianto) untuk mendaftar IMM. Pak Widjianto pernah menjadi Kepala Sekolah SMPM 1 Blitar dan ketua Majelis Pendidikan Kader PDM Kabupaten Blitar.


Baru itulah saya tahu IMM, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Namun karena memang tidak ada niat untuk ikut IMM, ya tidak ada tindak lanjut setelah mengisi formulir dengan agak terpaksa.


Adalah Mbak Nirma Yunita (Kabid Kader Komisariat Pelopor) dan Mas Badrut Tamam (ketua komisariat) yang kekeh menghubungi saya, mengirimkan undangan, menelepon bahkan menjemput sampai depan pintu kamar asrama/ma'had untuk mengikuti DAD.


Keseriusan mereka membuat saya tersentuh, suatu niat besar untuk menggelar acara hingga mendatangi calon kader sampai depan pintu kamar ma'had.


Padahal, peserta DAD hanya 7 orang. Namun didesain dengan serius, disiplin dan padat acara selama 3 hari. Salah satu narasumbernya Ali Muthohirin.


Dari DAD itulah saya jadi tertarik ikut IMM, segala pertanyaan saya tumpahkan ke narasumber, termasuk ke Dr. Nurdiansyah (sekarang dosen UMSIDA) yang kala itu mengisi materi sejarah dan ideologi IMM.


HMI sepupu IMM, kok


Namun fakta berikutnya, ternyata banyak ayahanda Muhammadiyah (yang senior) ternyata adalah jebolan HMI.


Misalnya, Dr. Saad Ibrahim (sekarang ketua PWM Jatim), yang adalah dosen Ushul Fiqh UIN Malang dan tokoh senior Muhammadiyah, ternyata dulunya juga HMI.


Meskipun ketua PDM Kota Malang saat itu, Pak Rifan Masykur, adalah alumni IMM. Rektor UMM saat ini, Dr.  Fauzan, juga alumni IMM.


Di Muhammadiyah sendiri, ada alumni HMI dan IMM, salah seorang ayahanda menjelaskan bahwa saat ia kuliah dulu, belum ada IMM di kampus, adanya HMI, dan HMI lebih dekat dengan Muhammadiyah, terlebih secara historis berkaitan dengan Masyumi.


Saya pun memahami hal itu, sebab UMM sendiri baru berdiri 1964, IMM masuk kampus IAIN saja baru tahun 90-an, belum lagi di UB, UM dan Budi Utomo. Sementara IMM di Universitas Kanjuruhan Malang baru terbentuk ketika saya menjadi korps instruktur tahun 2012.


Namun ada istilah menarik untuk menjelaskan posisi HMI di Muhammadiyah. Bahwa HMI itu ibarat sepupunya IMM, ada juga yang menyebut jika IMM anak kandung Muhammadiyah, maka HMI adalah keponakannya, sebagian yang lain menyebut HMI anak angkat Muhammadiyah.


Namun sekarang, banyak kader dan pimpinan HMI yang tidak mau diidentikkan dengan Muhammadiyah. Meskipun dalam perkaderan kerap kali kader baru diberi wawasan jika OMEK seperti PMII, IMM, dan KAMMI "berasal" dari HMI.


Beberapa artikel yang mengulas relasi HMI dan Muhammadiyah juga jarang, bahkan ada kader HMI yang menulis jika masih ada yang mengaitkan HMI dengan Muhammadiyah berarti "ngopinya kurang jauh".


Pencerahan dari Pak Farid


Buku Kelahiran yang Dipersoalkan sungguh memberi pencerahan bagi saya, memadamkan kegusaran, sekaligus memberi wawasan baru terkait gerakan IMM.


Bagaimana posisi IMM di Muhammadiyah, di Perguruan Tinggi Muhammadiyah, termasuk relasi historis IMM, HMI dan Masyumi.


Saya berterima kasih pada beliau meskipun tidak pernah bertemu secara langsung dan belum pernah memperkenalkan diri.


Sabtu, 7 Mei 2022, beredar pamflet dan ungkapan belasungkawa atas meninggalnya beliau. Saya pun termenung sejenak.


Tidak banyak buku tentang IMM yang terus dibaca seperti Kelahiran yang Dipersoalkan, kalaupun ada adalah buku Manifesto Gerakan Intelektual Profetik, itupun karena menjadi bacaan wajib para instruktur di IMM.


Kelahiran yang Dipersoalkan sangat legendaris, sekaligus memberikan kritik tersendiri bahwa penerbitan buku tentang IMM sebenarnya jalan ditempat, atau tulisan-tulisan populer tentang IMM juga tak banyak diproduksi.


Memang, IMM kini banjir akademisi, intelektual, bahkan memiliki jaringan skala nasional bernama Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah.


Namun IMM secara struktur, sebagai sebuah lembaga, teramat jarang menghasilkan karya yang berdampak sistemik maupun kultural.


Kepergian Kakanda Farid Fathoni A.F seharusnya memberikan kesadaran pentingnya "membaca IMM" secara berkesinambungan.


"Kelahiran yang Dipersoalkan" adalah amal ilmiah yang dipersembahkan penulis pada sebuah organisasi mahasiswa milik Muhammadiyah ini agar terus bergerak dan memperbaharui dirinya.


Selamat jalan, Kanda Farid.


Blitar, 9 Mei 2022

Ahmad Fahrizal A.

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir di blog ini ya.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak