Lebih Baik Membeli daripada Memberi Ke Pengemis



Selagi antri mengambil uang di ATM, seorang ibu paruh baya menyodorkan amplop yang bertuliskan: minta seikhlasnya.

Kadang, jika ibu yang menyodorkan berbeda orang, tulisannya berbeda lagi. Ada juga amplop polos yang tanpa keterangan.

Setelah keluar dari ATM, amplop itu dikembalikan ke ibu tersebut. Sesekali saya isi Rp1.000 atau Rp500 saat mengembalikannya.

Namun, ada moment yang saya renungi ketika melihat ibu berpakaian lusuh dan kumal itu--seperti belum mandi beberapa hari--saat mengemis.

Mereka membawa anak kecil, entah untuk apa. Anak tersebut kadang ikut duduk menemani, kadang juga berlarian membeli sesuatu: jus buah, sate ayam, dan bungkusan lain yang entah apa isinya.

Sejak itu, saya tak lagi mengisi amplop tersebut. Pikir saya, enak ya bisa minum jus dan makan sate, belum menu lain yang tak terdeteksi mata saya sebab masih terbungkus.

Saat itu, sedang hangat informasi tentang pengemis yang diorganisir, ditempatkan pada titik-titik tertentu. Didandani kumal untuk menyakinkan orang jika dia memang pengemis yang hidup menderita, belum lagi yang membawa anak kecil.

Pengemis dekat ATM tersebut sepertinya failed mission karena membuat saya tidak mau lagi mengisi amplop setelah tahu "gaya hidupnya".

Mungkin dia berpikir, kalau pendapatan disetor semua, dia hanya dapat sebagian, jadi dia belanjakan saja. Sehingga, dia tetap dapat bagian dari hasil ngemisnya plus bonus beli makanan dari hasil mengemis itu yang tidak diketahui "bosnya".

Namun berdampak pada turunnya pendapatan, karena mereka yang biasa memberi, seperti saya misalnya, akan berpikir: enak banget minum jus dan makan sate, saya saja belum tentu sebulan sekali.

###

Ingatan saya pun kembali ke kondisi gerbong Kereta Api di era pra Ignatius Jonan sebelum mejabat direktur KAI.

Saat itu masih banyak penjual asongan, segala jenis dagangan mulai dari makanan, koran, sendal, perkakas dapur, semua ada.

Gaya jualannya pun macam-macam, ada yang keliling menawarkan, ada yang dilempar lempar ke penumpang. Jika membeli cukup ganti dengan uang, jika tidak barang akan diambil.

Itu jadi pemandangan menarik ketika saya masih biasa naik Kereta Api dari pertengahan 2009 hingga pertengahan 2011.

Di antara yang jualan adalah kakek tua atau ibu renta, ada juga ibu muda yang berjualan lumpia. Kadang saya membeli kacang mete bungkus kecil, tahu goreng atau kerupuk rambak.

Kalau balik ke Malang senin subuh, biasa ada yang melemparkan koran Surya Rp1.000, murah sekali, bukan?

###


Sepertinya ada pergeseran berpikir yang saya alami, dan ternyata mendapatkan justifikasi dari banyak orang belakangan ini.

Dulu, kita berpikir jika memberi uang ke pengemis itu adalah suatu hal yang baik, bagian dari sedekah yang tinggi pahalanya.

Namun setelah melihat fenomena pengemis di kota-kota besar, kita jadi berpikir sebaliknya. Mungkin kita juga lah yang ikut menyuburkannya. Pengemis sebagai profesi dan dikapitalisasi oleh pihak tertentu.

Ya meskipun tidak semua pengemis itu diorganisir, ada di antara mereka yang terpaksa mengemis karena tidak punya akses pada barang dan jasa.

Namun kenapa mereka sampai mengemis? Apa negara tidak peduli, apa data mereka tidak masuk database penerima BLT, PKH atau jenis bantuan lainnya?

Apakah lembaga ZIS tidak menemukan mereka, padahal jumlah lembaga ZIS di Indonesia itu banyak sekali, bahkan mungkin yang terbanyak di dunia.

Atau mungkin sudah dibantu negara atau lembaga ZIS, termasuk mendapatkan modal dan skill untuk bekerja, namun "menikmati" mengemis karena tanpa modal dan tanpa skill bisa dapat uang dan … hasilnya mungkin lebih banyak.

Tak perlu banyak mikir dengan mengelola usaha, tinggal terima bersih, beres!

Kalau sudah pada level pikiran seperti itu kan jadinya repot. Soal mentalitas, menjadi sebuah tragedi.

Siapa sih yang mau mengemis?

Bahkan orang tua yang anak-anaknya menjadi orang kaya pun, tetap ingin mandiri dan tidak ingin bergantung, meskipun banyak orang berkata: sekarang tinggal menikmati "panen" di masa tua.

Bahkan orang tua yang sakit dan biaya rumah sakitnya ditanggung si anak kadang masih bertanya pada anaknya habis berapa?

Orang tua demikian memang sudah terlatih mengayomi sejak anak-anaknya masih kecil. Kerja apapun yang penting halal untuk menghidupi.

Para penjual asongan di transportasi publik, lokasi wisata, tempat hiburan dan sejenisnya mungkin tahu jika pengemis atau pengamen yang dekat dengan mereka lebih mudah dapat uang tanpa ada resiko setelahnya.

Berbeda dengan mereka yang masih harus setor atau menghitung total pendapatan dikurangi modal. Pengemis dan pengamen dapat duit ya sudah, tinggal dibelanjakan atau ditabung.

Makanya, kadang-kadang uang Rp2.000 yang saya miliki sepertinya lebih bermakna ketika dibelikan tahu goreng isi 4 potong ketimbang dimasukkan ke kantong pengemis yang masih bertubuh bugar itu.

Tapi kalau dikasih ke pengemis kan berpahala? Ada sisi non pamrihnya, sebab uang itu diberi cuma-cuma, bukan untuk alat tukar.

Sekilas memang benar, namun dampak setelah perlu dipertimbangkan. Dengan membeli tahu tersebut, kita secara tak langsung memberi dukungan kepada penjual itu untuk terus bekerja.

Bekerja lebih mulia daripada meminta, bukan? Toh kita juga tidak tahu kebaikan mana yang menurut Tuhan layak diterima.

Kebaikan itu bisa jadi seperti ini: kita dapat tahu 4 potong, namun juga dapat pahala karena telah mendukung orang lain untuk bekerja.

Ahad, 22 Mei 2022
Ahmad Fahrizal A.

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir di blog ini ya.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak