Kopi Jawa, Kopi hitam apa adanya.
Minggu ini tak ada agenda keluar kota dan aku menghubungi Bagas Abi terkait pertemuan rutinan.
Lantas akupun tersadar jika agenda rutinan, tak bisa lagi disebut rutinan sebab sudah tidak lagi dijalankan secara rutin.
Maka aku menawarkan diri untuk mengisi materi Travel Note, meskipun hingga H-1 belum ada kejelasan apakah esok akan ada yang datang?
Biasanya, saat grup whatsapp masih sedikit orang, konfirmasi hanya mereka yang tidak hadir.
Mereka yang hadir tak perlu konfirmasi. Pertemuan rutinan menjadi semacam jadwal alamiah bagi anggota di grup FLP Blitar.
Sabtu malam, tiba-tiba hujan turun, mulanya gerimis, berhenti sejenak, lalu hujan deras semalaman. Untung aku sudah tiba di rumah meski tubuh sebagian basah.
Lantas aku meminta bantuan Mbak Celvian Dian, pengelola Taman Baca Sumberjo, untuk meminjam tempat.
Pertemuan rutinan pun dipindah ke lokasi tersebut sebab sepertinya Taman Kota masih becek dan tak ada ojek.
Anisa Dewi datang paling awal ketika gerbang belum dibuka, menyusul Adinda yang diantar adiknya, menyusul dua orang lagi: Ikla Harmoa dan Miftahul Jannah, anak baru.
Setelahnya, hingga langit semakin redup, tak ada yang hadir.
***
Seharusnya aku menikmati ranjang empuk di hari Minggu, setelah hari-hari melelahkan di jalanan beberapa pekan terakhir ini.
Namun berkumpul dengan komunitas dan obrolan sederhana di kedai kopi telah menjadi kesenangan tersendiri.
Meksipun sepertinya banyak yang tak bisa menawar kesibukan, atau sebatas menggadaikan dua hingga tiga jam untuk bersua.
Aku teringat ini bulan Agustus, bulan lahirnya FLP Blitar. Kala itu, di tahun 2008, hari-hari sibuk memadati agenda kami sejak bulan Juli.
Aku terutama, yang bertugas sebagai humas, berkeliling dari ujung ke ujung, menjual tiket dan membagikan undangan.
Seminggu sebelum acara, aku jatuh sakit, demam menggigil tak karuan, kata dokter hanya kecapekan, dan hanya perlu istirahat.
Beruntung, hari penting pada 31 Agustus 2008, aku bisa hadir double jobs sebagai dokumentator.
Itu di tahun 2008, saat FLP Blitar baru diresmikan, belum punya anggota, hanya yang mau saja, itupun tak banyak.
Jelas kami harus bekerja super keras, aku bahkan sempat bertengkar dengan panitia seumuran karena beberapa hal, dan mungkin itu wajar karena usia kami masih antara 17 tahun.
Mengingat kejadian tersebut sungguh menggelikan, namun bisa menjadi penanda usia yang memang masih labil dan baperan.
***
Hingga sekarang masih ada yang bertanya, kapan ada pendaftaran anggota baru?
Jawabanku selalu sama: buka website dan hubungi kontak yang tertera.
Sebab, aku sudah "pamit" dari urusan keorganisasian dan ingin mendorong pada aspek kepenulisannya.
Hanya saja, periode ini memang seperti tidak ada target dan tujuan.
Mau menulis atau tidak, terserah saja. Apa orientasi kepengurusan, apakah akan menerbitkan buku atau apa, juga tak terdeteksi dengan jelas.
Kemanakah arah kapal berlayar?
Sesekali aku ingin bertanya, apa yang bisa aku bantu? Meski ternyata, mempertahankan yang ada saja sulitnya minta ampun.
Satu per satu program seperti tanggal, dan aku masih ingin bertanya: apa yang bisa aku bantu? Pada bagian mana?
Jawaban itu tak kunjung ada, dan lagi-lagi muncul pertanyaan kemanakah arah kapal berlayar?
Setiap hari aku membuka blog dan melihat karya Anisa Dewi, lalu kuusulkan dia agar dimasukkan ke grup FLP Blitar.
Anisa Dewi begitu aktif menulis dan karenanya ia harus mulai mengunggah sendiri tulisannya ke blog FLP Blitar agar tak perlu menunggu para pengurus yang super sibuk.
Mereka yang ingin bergabung pun aku sarankan nanti dulu sebab belum tentu ia akan terurus.
Lagipula di grup-grup whatsapp juga kerap kali ada informasi seputar kepenulisan atau lomba-lomba yang bisa diikuti, tanpa perlu ikut komunitas.
Aku tak bisa menuntut siapapun untuk lebih aktif sebab mereka juga terdera kesibukannya masing-masing.
Ini semacam warning point untuk menyadari jika usia 14 tahun adalah prestasi tersendiri, mengingat tak banyak komunitas berbasis seni dan literasi di Blitar yang bertahan cukup lama.
Mereka yang sudah punya ruang berkarya dan ruang apresiasi biasanya memang enggan berkomunitas, mengingat betapa ribetnya jika harus bertemu dengan banyak pemikiran.
Beberapa orang kadang juga menawariku agenda bedah buku atau program literasi lainnya dan aku masih berpikir apakah bisa kuserahkan pada komunitas berusia 14 tahun ini?
Beberapa akhirnya aku ambil sendiri karena takut mengganggu kesibukan pengurus yang pasti sudah pusing dengan kehidupannya masing-masing.
Aku masih membuka diri untuk kemungkinan menghidupkan aktivitas kepenulisan meskipun terkesan mengiba.
Dalam hati aku masih berharap, bisakah bertahan agak lama lagi?
Meskipun 14 tahun adalah suatu prestasi. Kita sendiri melihat banyaknya komunitas yang bubar meski baru berdiri, dan diantaranya yang bergerak di bidang seni, budaya dan literasi.
Bubar bukan karena kekurangan anggota, namun justru sebaliknya, banyak anggota yang masuk dengan membawa dirinya sendiri.
Di ujung tulisan ini, akupun juga menyadari jika banyak tanggungan lain yang harus aku selesaikan.
Menawar kesibukan bukan hal yang mudah. []
Blitar, 9 Agustus 2022
Ahmad Fahrizal Aziz