IMM dan Hal-hal Berkesan di Akhir Pekan

Dari baju hijau: David Saidi, Yusuf Hamdani, Rasikh Adila dan Saya, saat menjadi instruktur DAD.

JUMAT malam seorang teman mengirim SMS: apa pulang ke Blitar?

Saya jawab: tidak, lagi ikut acara DAD IMM.

Biasanya, kami menyusun janji untuk naik angkot bersama ke Stasiun Kota Baru Malang, naik kereta jam 19.20 menuju Blitar.

Namun malam itu saya dan enam orang lainnya sedang menjadi peserta Darul Arqom Dasar, di SD Muhammadiyah 08 Sigura-gura.

Minggu ini tak bisa pulang ke Blitar.

***

Menjadi kader IMM adalah hal unik dalam hidup saya. Suatu yang tak pernah terencana, sejak Aliyah justru tertarik ikut HMI.

Saat itu, beberapa "buku berat" yang saya baca adalah karya tokoh HMI, sebut saja Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, Nurcholish Madjid, Yudi Latif, dll.

Sebuah buku berjudul "Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia" karya Buya Syafii Maarif, yang sangat berpengaruh bagi saya, ada bab yang mengulas HMI.

Jari saya pun mengetik keyword "HMI" di google dan ditunjukkan nama Lafran Pane sebagai pendiri, seorang tokoh berlatar belakang Muhammadiyah, bahkan ide awal pendirian HMI, tampak persis dengan Muhammadiyah.

Lantas saya mengira HMI adalah Muhammadiyah, dan tertarik untuk mendalaminya. Bahkan saat pendaftaran tes masuk perguruan tinggi, saya menginap di sekretariat komisariat HMI Ekonomi UM, atas bantuan alumni MAN Kota Blitar.

Namun tes masuk perguruan tinggi justru meluluskan saya ke UIN Malang, dan kala itu HMI disana menggelar istigosah. Dalam hati: lho Muhammadiyah kok istigosah?

Saya bertanya ke salah satu pengurusnya dan berkata jika HMI bukan Muhammadiyah, dan berdiri di atas semua golongan. Sebuah banner promosi terpasang foto KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asyari, berdampingan.

***

Mungkin ini semacam takdir, ketika seorang teman meminta saya untuk menemani ke stand IMM. Sebuah bendera besar terhampar dan tertulis: Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.

Saya pikir organisasi ini khusus menampung alumni sekolah Muhammadiyah, laiknya organisasi daerah yang menampung anak-anak dari daerah yang sama.

Tapi teman saya bukan alumni sekolah Muhammadiyah, kami alumni sekolah Aliyah yang sama, hanya beda fakultas.

Saya diarahkan ke stand sebelah sesuai fakultas saya, padahal niatnya hanya menemani. Di stand tersebut ada dua kader IMM yang menjaga.

Kami berkenalan, basa basi sekilas, memperkenalkan asal daerah. Dua Immawati yang menjaga sore itu berasal dari Gresik dan Bima, NTB.

Saya mengisi formulir dengan "agak terpaksa", hingga hari-hari jelang DAD, ponsel saya terus mendapat notifikasi, SMS pengingat, mulai dari agenda Mastama, TM dan DAD.

Jumat siang, ketua komisariat mengetuk pintu kamar saya, rela datang ke ma'had/asrama kampus untuk menjemput calon kadernya.

Wah, sampe segitunya ya. Bathin saya.

Demi menghargai usaha itu, saya bersedia ikut DAD, meskipun semester I itu sangat padat: wajib tinggal di Ma'had dengan aktivitas dari sebelum subuh hingga jelang tidur, plus kuliah Bahasa Arab hingga malam hari.

Rasanya akan semakin sibuk jika harus ditambah aktivitas berorganisasi.

***

Terasa unik ketika saya yang bukan dari keluarga dan kultur Muhammadiyah, lalu ikut IMM di kampus PTAIN.

Berbeda hal jika kuliah di PTM. Barangkali itulah takdir, sebab kalau mencari organisasi ekstra kampus yang lebih prestisius, bukan IMM tempatnya.

Tak ada satupun jabatan ketua intra kampus yang dipegang IMM, meski tahun berikutnya ada kader IMM yang menjadi ketua HMJ.

Ikut IMM bukan hal yang menguntungkan, jika berhitung secara pragmatis, apalagi di kampus PTAIN.

Namun bukan itu yang menjadi pertimbangan. Saya kadung "jatuh cinta" dengan gagasan KeIslaman Muhammadiyah, dengan Teologi Al Maun yg diajarkan KH. Ahmad Dahlan, dengan fleksibilitas berIslamnya, termasuk keberaniannya menentang tradisi yang mengakar di masyarakat selama ratusan tahun.

Kala itu saya melihat Muhammadiyah sangat simple, gesture orang-orangnya biasa saja, tak ada kesenjangan berdasar keturunan. Bahkan satu angkatan DAD saya, Allahuyarham Rasikh Adila, adalah anak ketua PDM Kota Malang.

Hal lainnya adalah, tidak ada pembagian ekstrem kehidupan duniawi dan akhirat, maka istilah Ibadah Mahdah dan Ghairu Mahdah itu tak terlalu populer di Muhammadiyah.

Semua aktivitas selama ditujukan untuk mendapat Ridha Ilahi, dan dilakukan dengan cara yang benar, ya bernilai ibadah, termasuk mengurus organisasi.

Belum lagi dengan gagasan-gagasan dari Ahmad Syafii Maarif yang saya baca, lewat buku cetakan lama itu, begitu memantik rasa penasaran, terlebih di bawah nama sang penulis tertera: Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah.

Gaya menulis Ahmad Syafii Maarif sangat renyah, mengalir dan penuh kutipan. Sangat enak dibaca.

***

Selepas DAD, saya menjadi kader biasa, kader IMM Komisariat Pelopor.

Pada tahun berikutnya, menjadi sekretaris bidang kelimuan, dan tahun berikutnya menjadi kabid Keilmuan.

Harusnya berlanjut ke Korkom, namun saya langsung ke Cabang dan menjadi sekretaris bidang media, tahun berikutnya kembali ke bidang Keilmuan yang sudah berganti menjadi RPK (Riset dan Pengembangan Keilmuan).

Menjadi Kabid RPK hanya sekitar 6 bulan, lalu mengundurkan diri karena kesibukan dan hal lainnya.

Sejak bergabung dengan IMM, aktivitas akhir pekan menjadi sangat padat. Misalnya, kunjungan DAD.

Saat itu ada 20 komisariat (sekarang lebih), dan selalu mengirimkan undangan ke komisariat lainnya ketika ada DAD.

Sabtu malam atau Minggu pagi adalah momentum kunjungan yang menyenangkan. Malam hari di lokasi DAD selalu ramai karena tradisi kunjung mengunjungi antar komisariat.

Biasanya DAD dilaksanakan agak jauh dari kampus, paling banyak di Kota Batu. Memacu kendaraan, menembus hawa pegunungan yang dingin.

Ketika naik ke Pimpinan Cabang  agendanya berbeda: biasanya diminta mewakili ketua membuka acara atau mengisi salah satu materi DAD.

DAD biasa digelar bulan Oktober, November, Desember, dan tahun berikutnya DAD II sekitar bulan Maret dan April.

Ada juga komisariat yang dalam satu periode menggelar lebih dari 3 kali DAD, terutama komisariat di UMM.

Di luar bulan itu, biasa diundang untuk mengisi kajian-kajian di komisariat, apalagi ketika menjadi Kabid RPK, suatu bidang yang cukup sakral sebab Malang, Jogja dan Ciputat dulu dianggap sebagai poros intelektual IMM.

Dalam diskusi, "perang" bacaan itu kerap terjadi. Beberapa nama pemikir seperti Antonio Gramsci, Karl Marx, Hasan Hanafi, Ali Syariati, Max Weber, Emile Durkheim, hingga Montesqieu dan John Lock, begitu familiar di telinga kami.

Istilah seperti Post Truth, Post Modernism, Post Colonialism, Profetik, liberasi beragama dan sejenisnya juga begitu familiar.

Pengaruh "kitab putih" itu sangat kuat, sampai IMM dianggap kaum kiri.

Beberapa kader yang euforia dengan gagasan di atas ternyata justru jebolan pondok pesantren, yang di antaranya sudah punya basic keilmuan agama.

Terutama kader-kader IMM UMM yang di antaranya memang alumnus Pesantren, dan menemukan simbiosis tersendiri ketika mempelajari teori-teori perubahan sosial tersebut.

Meskipun ketika kita mengkaji teks-teks Muhammadiyah, justru tokoh yang banyak muncul dan dikutip adalah Muhammad Abduh, Jamal Al Afghani, dan Ibnu Taimiyah.

Uniknya lagi, di tahun-tahun tersebut, gagasan Dr. Moeslim Abdurrahman sedang membanjiri alam pikiran kader IMM Malang, lewat bukunya "Islam yang Memihak" dan "Suara Tuhan Suara Pemerdekaan."

Sang tokoh bahkan pernah datang ke UIN Malang untuk bedah buku tersebut, pembandingnya Dr. Saad Ibrahim, MA.

IMM kini telah berusia 59 tahun, dan menjadi kader IMM adalah fragmen hidup yang selalu saya syukuri.

Bersyukur karena menemukan mata air pengetahuan, kekayaan persepsi dan kesempatan berharga melakoni peran-peran sosial. []

Billahi Fi Sabilil Haq,
Fastabiqul Khairat.

Blitar, 14 Maret 2023
Ahmad Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak