Menerima Prabowo



Sekitar 16 tahun yang lalu, layar televisi dihiasi iklan "burung elang" disertai suara narator, menyampaikan kritik pada kondisi negara saat itu, dan di tengah video akan ada kalimat: saya Prabowo Subianto.


Kala itu usianya masih 56 tahun. Badan tegap, nada tegas, dan sisa guratan tampan di masa mudanya.


4 tahun sebelumnya, ia maju dalam konvensi capres Partai Golkar untuk Pilpres 2004. Ada dua nama "raksasa" yang akan sangat sulit dikalahkannya: Wiranto dan Akbar Tanjung.


Wiranto tampil sebagai pemenang, dan Prabowo masih nama asing di masyarakat. Perlahan, lewat iklan "burung elang" itulah, ia mulai menyeruak, masuk radar survey, dan hanya butuh setahun berikutnya, dipinang menjadi Cawapres mendampingi Megawati.


Sayangnya, keduanya (dengan sebutan Mega-Pro), terlibas habis hanya lewat satu putaran pada pilpres 2009, melawan petahana, SBY-Boediono.


Kekalahan ini menyakitkan bagi Megawati yang pernah menjadi Presiden dan "atasan" SBY, dan ini kekalahan kedua, dalam satu putaran pula, padahal saat itu, siapa sih yang tak kenal Megawati?


Bagi Prabowo, kekalahan itu adalah tangga baru karir politiknya, namanya telah masuk kertas suara, dan bisa dikatakan: cukup lumayan. Apalagi setelah dia menghilang dari Indonesia pasca kerusuhan 98.


Prabowo kembali ke Indonesia setelah terlantung-lantung di luar negeri (stateless), setelah pemecatan yang menyakitkan dari militer, lembaga yang sangat dibanggakannya.


Mertuanya sendiri, atas pernyataan B.J Habibie lewat buku Detik-Detik yang Menentukan, membuangnya karena dianggap dekat dengan aktivis reformasi, diantaranya Amien Rais.


Jadi bisa ditarik benang merahnya, kenapa dalam Pilpres 2014 dan 2019 Amien Rais sangat getol mendukung Prabowo?


Prabowo, dan SBY di dalamnya, adalah sebagian dari jenderal TNI reformis, dalam artian tak ingin menyelesaikan urusan-urusan politik dengan cara militer.


Meskipun itu menjadi pisau terbalik yang menyayatnya, bungkusan isu HAM dan dianggap menghidupkan kembali orde baru.


Allan Nairn, Jurnalis Amerika, bahkan sampai buka suara terkait kejahatan HAM Prabowo, dan itu mempreteli elektabilitasnya sedikit demi sedikit.


Di masa kecil, dia mengalami kehidupan yang sulit, bepergian bersama bapaknya yang melarikan diri karena ancaman penahanan dari rezim Soekarno, dianggap terlibat PRRI Permesta, terlebih sebagai tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI).


Hal yang sama kembali ia rasakan bahkan setelah mendapat bintang 3, jabatan Perwira Tinggi/Pati, lalu kembali ke belantara politik Indonesia dengan luka yang mungkin belum mengering sepenuhnya.



***


Sejak Pilpres 2009, tahun berikutnya nama Prabowo semakin berkibar, rimba raya survey menempatkannya sebagai top 3, dan puncaknya pada Oktober 2013, dia top 1 survey Capres.


Nyaris tak ada lawan seimbang, bahkan sekalipun harus melawan Megawati. SBY juga tak sempat melakukan "kaderisasi" karena Parpolnya babak belur setelah menteri-menterinya ditangkapi KPK.


Prabowo pun kian berkibar setelah ia yakin PDIP akan mengusungnya, sebab konon ada Perjanjian Batu Tulis yang mana Megawati akan mendukungnya maju sebagai capres 2014.


Meskipun kemudian diralat Puan dengan jawaban: andai Pilpres 2009 menang. Nyatanya Pilpres 2009 kalah dan janji itu tak perlu ditunaikan.


Maret 2014, eskalasi politik berubah total karena ternyata PDIP punya kandidat yang elektabilitasnya cukup tinggi, yaitu Joko Widodo.


Merekapun mendeklarasikan Jokowi sebagai Bacawapres dan meminta melepaskan jabatan Gubernur DKI Jakarta yang belum selesai ia tuntaskan amanahnya.


Duaarr... Prabowo yang tak terbendung pun kini mulai punya pesaing kuat dan tak bisa dianggap remeh, meski surveynya masih sangat tinggi dan potensi menangnya masih terbuka lebar.


Selain itu, serangan kepadanya semakin kencang: isu HAM kembali membungkusnya sebagai Jenderal berdarah penculik aktivis 98, potensi neo Orde Baru, sampai isu agama.


JK bahkan pernah melontarkan statement: Prabowo belum tentu hafal Al Fatihah. Jleepp...


Elektabilitasnya pun makin tergerus dan Jokowi adalah alternatif (tanpa pilihan lain), meskipun ia juga terserang isu yang tak kalah ganas: PKI salah satunya.


Piplres 2014 berlangsung sengit nan panas, dan Jokowi-JK tampil sebagai pemenang.


Hanya hitungan bulan, Prabowo yang seperti Elang terbang tanpa batas, tiba-tiba terkunci di sangkarnya. Hingga 2019 kemudian, ia dan parpolnya menjadi oposisi yang tak cukup kritis, kecuali diwakili oleh Fadli Zon.


2014 itu juga, Anies Baswedan menjadi jubir Jokowi dan Mahfud MD menjadi jubir Prabowo. Inilah politik.


 ***



2019, pergulatan sengit kembali terjadi. Selepas Jokowi meninggalkan jabatan Gubernur, di sisa masa jabatan itu Gubernur DKI Jakarta berganti dua kali: Ahok dan Djarot Saiful Hidayat.


Tragedi Al Maidah membuat Ahok terseret ke jeruji besi dan itu angin segar bagi Anies untuk melenggang ke balai kota Jakarta.


Saat itu, Anies bukan lagi gerbong Jokowi, ia telah diganti Muhadjir Effendy yang kemudian langgeng dalam kabinet Jokowi.


Aksi 212 bergema memenuhi Monas dengan seragam putih. Prabowo tampil sebagai sosok yang dielu-elukan. Pilpres 2019 akan kembali sengit hingga ada julukan kampret dan cebong.


Sayangnya, Prabowo kembali tumbang. Jokowi melenggang kembali ke istana dengan periode kedua yang mengejutkan: dia mengajak Prabowo masuk kabinet, menjadi Menteri Pertahanan, dan Prabowo mau.


Entah bisikan apa yang dibuat Jokowi hingga lawan politiknya itu "takluk" begitu saja.


Jabatan Menhan membuat Prabowo menjadi salah satu media darling, dan tidak hanya musim pemilu saja. Kini ia tampil sebagai pejabat publik dan media terus menyorotnya.


2024 namanya kembali memenuhi top survey (dan memang selalu begitu sejak 2013 silam), bahkan tanpa pesain berarti, sebab Jokowi tak mungkin maju lagi.


Namun, ia tergerus usia. 20 tahun telah terlewati sejak ia maju dalam konvensi capres Golkar. Ia juga dianggap sudah beda dengan 2014 dan 2019, ia telah menerima kompromi kekuasaan yang 5 tahun sebelumnya ia gempur habis-habisan.


Prabowo telah melakukan fusi politik dengan Jokowi. Itu membuat pendukung garis depannya kecewa.


Prabowo tampil kembali menjadi Capres 2024, dipasangkan dengan Gibran, dengan segala drama yang menyertainya.


Ia melawan Anies dan Ganjar. Anies merangsek naik setelah mejabat Gubernur DKI Jakarta, dan Ganjar punya modal rekam jejak 10 tahun mejabat Gubernur Jawa Tengah.


Prabowo menang telak berdasar Quick Count. Perlu 20 tahun baginya untuk memenangi kontestasi ini. Sebentar lagi ia akan menggantikan posisi Jokowi. Kekuasaan di tangannya.


Ia adalah anak dari Sumitro Djojohadikusumo, salah satu "Sjahrir Boys" yang legendaris. Cucu Margono Djojohadikusumo, tokoh perbankan paling awal di era kemerdekaan Republik Indonesia.


Ia juga menantu dari Presiden Soeharto, penguasa orde baru. Kita akan bersiap menerimanya menjadi Presiden RI ke-8, mungkin lebih mudah daripada harus ... menerima Gibran sebagai wakilnya.


Tabik,

Ahmad Fahrizal Aziz

Pembaca Buku


Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir di blog ini ya.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak