Desa kecil di Majalengka itu terasa segar, dihiasi sawah-sawah hijau, ayam berkokok, bersahutan.
Sebuah rumah sederhana berdiri di tengah-tengah, dikelilingi oleh pohon mangga yang rimbun.
Di dalam rumah itu, seorang anak kecil berusia lima tahun duduk di lantai kayu, menggambar sesuatu di atas tanah dengan ranting kecil.
Itulah Ajip, seorang bocah yang senyumnya penuh rasa ingin tahu. Ia tak pernah diam; jika tidak bermain di sawah, ia sibuk mendengarkan cerita orang dewasa.
Namun, hidupnya tidak seindah pemandangan di sekelilingnya. Pada usia dua tahun, orang tuanya berpisah, dan Ajip diasuh oleh nenek serta pamannya.
Dalam keheningan malam, sering ia mendengar bisik-bisik tentang kesulitan keluarga mereka.
Kesepian membuatnya mencari pelarian, dan ia menemukannya dalam cerita-cerita.
Setiap malam, neneknya sering bercerita tentang legenda-legenda Sunda.
Kisah-kisah itu menyala dalam pikirannya, menghidupkan dunia yang penuh dengan para raja, pertarungan, dan keajaiban.
"Nenek, bagaimana bisa ada orang yang bisa menciptakan dunia seperti ini?" tanya Ajip suatu malam.
Neneknya tersenyum, menatap mata cucunya yang berbinar.
"Kau bisa menciptakan duniamu sendiri, Ajip. Kau hanya perlu menuliskannya."
Sejak saat itu, Ajip kecil mulai menuliskan cerita di kertas bekas.
Ia mengisi waktu luangnya dengan membaca apa saja yang bisa ia temukan, termasuk koran tua yang tergeletak di warung.
Ayahnya yang jarang pulang sesekali membawakan buku, dan itu adalah hadiah terbaik yang pernah ia terima.
Ketika beranjak remaja, Ajip pindah ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah.
Di kota besar itu, ia menghadapi dunia yang jauh berbeda dari kampung halamannya.
Kehidupan keras ibu kota membuatnya semakin tenggelam dalam dunia tulis-menulis. Ia mulai mengirimkan cerpennya ke surat kabar.
Pada usia 12 tahun, cerpen pertamanya dimuat di harian Indonesia Raya.
“Ajip, ceritamu dibaca orang-orang, nak,” kata pamannya dengan bangga saat mengunjungi Jatiwangi.
Mendengar itu, Ajip merasa ada harapan baru. Ia menyadari bahwa menulis bukan hanya pelarian, tetapi juga kekuatan untuk berbicara kepada dunia.
Namun, perjalanannya tidak mudah. Ajip tidak menyelesaikan pendidikan menengah atasnya.
Banyak yang meragukan masa depannya tanpa ijazah. Tapi Ajip tidak peduli.
Ia percaya bahwa pengetahuan sejati tidak hanya berasal dari sekolah, tetapi juga dari pengalaman dan kegigihan.
Di usia 17 tahun, Ajip menerbitkan kumpulan cerpennya yang pertama, “Tahun-Tahun Kematian”.
Karya itu mendapatkan perhatian luas, dan namanya mulai dikenal di kalangan sastrawan.
Saat itu, ia juga aktif menjadi redaktur majalah Prosa dan terus menulis tanpa henti.
Setiap cerita yang ia tulis membawa nafas perjuangan, harapan, dan cintanya pada budaya Sunda.
Pada suatu hari, Ajip merenung di kamar kecilnya yang dipenuhi buku-buku.
Ia menatap tumpukan kertas tulis yang berisi cerita-cerita tentang kampung halamannya.
"Aku ingin lebih dari sekadar menulis," pikirnya. "Aku ingin melestarikan budaya yang membesarkanku."
Ia mulai menggali lebih dalam tradisi Sunda, menerjemahkan, menyadur, dan menulis ulang cerita-cerita rakyat.
Tahun demi tahun, ia membangun dirinya sebagai penjaga warisan budaya, sembari terus menghasilkan karya sastra yang membumi dan menyentuh hati pembacanya.
Ajip Rosidi tidak pernah berhenti menulis. Ia tidak hanya menjadi penulis, tetapi juga pendiri penerbit Pustaka Jaya, akademisi tanpa ijazah formal, dan seorang budayawan yang mendirikan Yayasan Kebudayaan Rancage.
Dari rumah kecil di Jatiwangi hingga panggung internasional, Ajip membuktikan bahwa masa lalu yang sederhana tidak membatasi seseorang untuk menulis takdirnya sendiri.
Di penghujung hidupnya, Ajip merenung, menatap rak penuh buku karyanya. Ia tahu, meskipun tubuhnya akan pergi, kata-katanya akan tetap hidup.
"Aku hanya anak desa," katanya pelan, "tapi aku menulis dunia yang lebih besar."
Tabik,
Jurnalrasa.my.id