Bumi yang Terlarang (Tentang Pram dan Oei Him)



Matahari di Pulau Buru perlahan tenggelam, menyisakan bias jingga di langit yang suram. 

Di sebuah pondok kecil yang dibangun seadanya, Pram duduk bersila di atas lantai tanah. 

Ia menatap langit yang mulai gelap, seolah mencari ketenangan dalam hiruk pikuk penjara yang sunyi.

"Pram, kau tidak lelah bercerita setiap malam?" tanya Oei Hiem Hwie, salah satu teman sesama tahanan, yang duduk di sudut pondok.

Pram tersenyum kecil. "Cerita adalah satu-satunya kebebasan yang kumiliki. Kata-kata tidak bisa dikurung, Hwie."

Namun, di balik senyumnya, Pram tahu bahwa kebebasan itu pun berisiko. 

Menulis dilarang keras. Bahkan, memiliki alat tulis bisa dianggap pemberontakan. 

Tapi Pram tidak pernah menyerah. Dalam pikirannya, cerita "Bumi Manusia" terus berkembang, menggambarkan kehidupan Minke, seorang pemuda pribumi yang berjuang melawan kolonialisme.

"Saatnya menulis, Pram," gumam Hwie sambil mengeluarkan mesin tik tua yang disembunyikan di bawah tumpukan kain lusuh.

Pram menatap mesin tik itu dengan sorot mata penuh tekad. 

"Jika aku tertangkap, ini akan jadi alasan mereka memperpanjang penahananku."

"Tapi jika kau tidak menulis, cerita ini akan hilang selamanya," jawab Hwie tegas.

Malam itu, Pram mulai mengetik di bawah bayangan lampu minyak. Setiap huruf yang ia tekan terasa seperti denting perlawanan terhadap ketidakadilan. 

Ia tahu bahwa setiap kata yang ia tuliskan adalah warisan yang tidak bisa dirampas oleh siapa pun.

Hari-hari berlalu, dan naskah "Bumi Manusia" pun selesai. Hwie, dengan kecerdasannya, menyembunyikan naskah itu di tempat yang tidak terduga—di bawah balok penutup septic tank.

"Ini gila," kata Pram ketika melihat tempat persembunyian itu.

"Tidak ada tempat yang lebih aman dari ini," jawab Hwie sambil tertawa kecil.

Ketika Pram akhirnya dibebaskan dari Pulau Buru, Hwie menyerahkan naskah itu kepadanya. 

"Bawa ini keluar. Dunia perlu membaca apa yang kau tulis."

Dengan naskah itu di tangannya, Pram kembali ke Jakarta. Ia mengetik ulang setiap halaman yang mulai lusuh, mengubah tumpukan kertas menjadi sebuah buku utuh. 

Namun, kebebasan hanya sesaat. Pemerintah Orde Baru segera melarang buku tersebut, menyebutnya berbahaya.

"Apa yang mereka takutkan dari sebuah cerita?" gumam Pram saat mendengar pelarangan itu.

Namun, "Bumi Manusia" telah lepas dari tangan penindas. Buku itu diterjemahkan ke berbagai bahasa dan menyebar ke seluruh dunia, menceritakan perjuangan manusia melawan ketidakadilan.

Di usia tuanya, Pram sering duduk di sudut rumahnya, mengingat kembali hari-hari di Pulau Buru. 

Ia tersenyum tipis, mengenang suara denting mesin tik tua yang menyalakan semangat perlawanan.

"Pada akhirnya, kata-kata selalu menang," bisiknya pada dirinya sendiri, sambil menatap rak buku yang penuh dengan karyanya.

*karya fiksi berbasis interpretasi sejarah

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak