Pak Yos-Realis


Apakah seni hanya berpendar di alam ide dan imajinasi, ataukah harus turun langsung ke realitas sosial politik? 


Apakah seni hanya untuk memoles estetika, ataukah ia juga menjadi alat untuk mengkritik penguasa?


***

Romantisisme, yang lahir pada akhir abad ke-18, adalah aliran seni yang menjadikan emosi, keindahan, dan imajinasi sebagai pusatnya. 


Lukisan lanskap penuh drama, puisi tentang keindahan alam, dan pengagungan pengalaman pribadi adalah ciri khasnya. 


Aliran ini melawan rasionalitas Zaman Pencerahan, menawarkan pelarian dari realitas yang sering kali dingin dan tidak manusiawi.


Namun, Romantisisme dikritik karena terlalu idealis dan melupakan dunia nyata. 


Bagi para kritikus, seni romantis menghindari kenyataan pahit kehidupan sehari-hari, seperti ketidakadilan sosial atau penderitaan manusia. 


Ia dianggap sebagai eskapisme—seni yang indah tapi tidak relevan.


Sebagai reaksi terhadap romantisisme, Realisme Sosial hadir pada abad ke-19 untuk membawa seni kembali ke dunia nyata. 


Ia memotret kehidupan kelas pekerja, kemiskinan, dan ketimpangan sosial secara apa adanya. 


Tidak ada glorifikasi, hanya kenyataan yang keras. 


“The Stone Breakers" Gustave Courbet hingga “Potret Diri dan Ayam” karya Affandi adalah contoh bagaimana seni berbicara lantang melawan ketidakadilan.


Dalam karya tulis, Max Havelaar/Multatuli dan Keluarga Gerilya/Pramoedya Ananta Toer adalah di antara yang menusuk ke jantung realitas.


Namun, Realisme Sosial pun juga kena peluru kritik; fokusnya pada realitas sering kali dianggap menyederhanakan masalah sosial yang kompleks. 


Ada pula anggapan bahwa pesan moral dan politiknya terlalu kuat, hingga mengorbankan keindahan seni itu sendiri. 


Bahkan, dalam beberapa kasus, realisme sosial dianggap tidak lebih dari alat propaganda. Ngeri kan?


Lalu bagaimana dengan lukisan Pak Yos Suprapto yang sedang ramai diperbincangkan belakangan ini?


Karya-karyanya dikenal tajam dalam mengkritik ketimpangan sosial dan politik. 


Baru-baru ini, pameran tunggalnya berjudul “Kebangkitan Tanah untuk Kedaulatan Pangan”, menuai kontroversi. 


Beberapa karyanya, seperti "Konoha 1", diminta diturunkan karena dianggap terlalu vulgar dalam menyampaikan kritik terhadap kekuasaan.


Yos Suprapto menolak sensor tersebut. Ia menarik seluruh karyanya dari pameran, menegaskan bahwa seni adalah ekspresi bebas yang tidak boleh dikekang oleh otoritas atau kepentingan tertentu. 


Karya-karyanya adalah suara yang mengungkapkan kebenaran tentang praktik kekuasaan dan kondisi sosial yang memprihatinkan.


Kontroversi ini membuka diskusi penting: apakah seni harus netral, atau ia memiliki tanggung jawab untuk menantang kekuasaan dan membela yang lemah? 


Di satu sisi, seni bisa menjadi medium refleksi pribadi. Di sisi lain, seperti yang ditunjukkan Yos Suprapto, seni juga bisa menjadi senjata yang menantang orang yang (pernah atau masih) berkuasa.


Melalui perdebatan ini, seni membuktikan dirinya sebagai ruang yang hidup, penuh konflik, dan selalu relevan. 


Seni yang hanya bermain di dunia ide mungkin indah, tetapi seni yang berani menyentuh realitas mungkin memiliki dampak yang nyata.


Dan itulah hebatnya seni; melecut tafsir, sasaran empuk untuk dihujat, diperdebatkan dan atau diapresiasi. []


Tabik,

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak