;Bukan Rendang Jawa
Sepotong daging lapis menyentuh lidah, manis dari kecap yang pekat, gurih dari rempah-rempah yang membalut setiap helai seratnya, dan … sedikit tarian aroma pala yang hangat.
Kuahnya kental, mengilap oleh minyak, memberikan sensasi lembut, menyelimuti lidah dengan harmoni rasa yang sempurna.
Setiap kunyahan mengundang rasa yang semakin dalam, menjadi medium bagi cerita panjang tradisi kuliner Nusantara.
Daging lapis adalah narasi rasa yang diceritakan melalui bahan-bahan sederhana namun sarat makna.
Bawang merah dan bawang putih, kemiri yang disangrai, ketumbar, dan jintan bergandengan mesra dalam paduan rasa.
Semua itu kemudian dirangkul oleh gula merah yang larut bersama kecap manis, menciptakan rasa manis-gurih yang menjadi ciri khas masakan Jawa Timur.
Daging lapis diyakini lahir dari pertemuan budaya, ketika pengaruh Belanda berasimilasi dengan tradisi masak Jawa.
Meskipun tidak ada nama Belanda spesifik yang disematkan untuk hidangan ini, gaya memasaknya mengingatkan pada teknik braising yang populer di Eropa.
Orang Jawa dengan kearifan lokalnya, menambahkan sentuhan manis dari kecap dan gula aren, menjadikannya hidangan yang unik dan khas.
Hidangan ini menjadi ikon kuliner Surabaya, khususnya di kalangan masyarakat yang menyukai masakan kaya bumbu.
Pada zaman kolonial, daging dianggap bahan mewah, sehingga daging lapis menjadi sajian istimewa untuk acara-acara penting seperti perayaan dan upacara keluarga.
Hingga kini, ia tetap mempertahankan aura elegannya, meski telah menjadi lebih akrab dalam kehidupan sehari-hari.
Sekilas, daging lapis sering disalahartikan sebagai rendang.
Namun, keduanya memiliki perbedaan yang mencolok.
Daging lapis lebih cair, dengan kuah kental yang masih mempertahankan karakter cairnya, sementara rendang adalah hidangan kering yang dimasak hingga bumbunya benar-benar melekat pada daging.
Rasa manis menjadi ciri utama daging lapis, berbanding dengan rendang yang mengandalkan kepedasan dan kompleksitas bumbu khas Minangkabau.
Daging lapis dimasak dengan api kecil dalam waktu yang cukup lama agar bumbu meresap, tetapi tetap menjaga kelembutan daging.
Sementara itu, rendang melalui proses pemasakan yang jauh lebih panjang hingga menghasilkan tekstur daging yang hampir seperti karamel dengan rasa yang dalam dan intens.
Jika melihat tekstur penyajiannya, Rendang di Rumah Makan Padang Murah yang sedang hits belakangan ini lebih cocok disebut daging lapis.
Kuah yang cenderung lebih encer dan dominasi rasa manis sering membuatnya kehilangan karakteristik rendang tradisional.
Hidangan ini menjadi salah satu contoh adaptasi selera lokal yang tetap digemari, meski menimbulkan perdebatan kecil di kalangan pencinta kuliner otentik.
Wajar, namanya juga “Murah”, jangan terlalu berharap pada otentifikasi rasanya.
***
Daging lapis mencerminkan sejarah, kreativitas, dan kehangatan yang selalu melekat pada kuliner Indonesia.
Dari aroma rempah yang memenuhi dapur hingga sensasi manis-gurih yang tak terlupakan, daging lapis adalah puisi rasa yang tidak hanya menggoda lidah, tetapi juga mengajak kita mengenang perjalanan panjang warisan nenek moyang.
Hidangan ini adalah warisan budaya yang mengingatkan kita akan keindahan menyatukan pengaruh asing dengan identitas lokal.
Seperti Indonesia itu sendiri, daging lapis adalah mozaik yang memikat, penuh warna dan rasa yang membaur sempurna.
Di atas meja makan, ia hadir sebagai simbol cinta terhadap tradisi, yang terus kita wariskan dari generasi ke generasi. []
Tabik,