Pak Sugeng, Guru Sastra Kami

Bapak Soegeng Rupianto. Dok/facebook Soegeng Rupianto



Pak Sugeng mungkin adalah penyair yang menyamar sebagai guru, beliau kuliah Jurusan Sastra (murni) di Universitas Airlangga, gelarnya S.S bukan S.Pd, mengajar lewat akta 4.


Di kelas, beliau lebih banyak duduk dan bercerita, sesekali berdiri untuk menuliskan sesuatu di papan tulis, sesekali juga memberi PR, namun keesokan harinya tak pernah menanyakan apakah PR itu sudah dikerjakan.


Beliau mengampu pelajaran Sastra Indonesia untuk kelas bahasa MAN Kota Blitar, terkhusus angkatan 2009-2010. Mata pelajaran itu (dahulu) masuk Ujian Nasional.


Suasana kelas rileks saat beliau hadir, tak ada ketegangan atau kengerian, pelajaran Sastra tak pernah menjadi momok, plus pembawaan beliau yang lebih sering bertutur ketimbang berteori.


"Kalau teorinya di pelajaran bahasa Indonesia," ucapnya suatu ketika.


Beliau memang guru Bahasa Indonesia, namun tak pernah mengajar kami Bahasa Indonesia. Guru Bahasa Indonesia kami adalah Allahayarham Bu Woro.


Namun justru itulah saat yang saya nantikan, sebagai pelajar yang sulit beradaptasi dengan ilmu eksak, pelajaran Sastra adalah hiburan tersendiri.


Pak Sugeng bercerita tentang Chairil Anwar, kehidupannya yang pelik, sekaligus kejeniusannya dalam meracik diksi pada zamannya.


Pak Sugeng mengulas Siti Nurbaya karya Marah Rusli, memperkenalkan kami dengan tokoh Datuk Maringgih versi teks, juga memperkenalkan dengan Abdul Muis, STA, Achdiat K. Miharja hingga NH. Dini.


Pak Sugeng sempat juga mengupas Supernova karya Dee Lestari, juga selintas generasi sastra wangi, Ayu Utami tak terlewatkan.


Namun, seinget saya (maaf bila lupa) Pak Sugeng belum sempat mengomentari karya-karya Pramoedya Ananta Toer, atau mungkin saat beliau kuliah (di era orde baru), karya Pram sangat sulit diakses.


Atau bisa juga, beliau mengambil jalan aman untuk tidak bercerita tentang Pram dan karyanya, apalagi untuk anak sekolahan seperti kami.


Cerita Pak Sugeng sebenarnya tak begitu saja bisa kami cerna, terlalu berat untuk anak sekolah menengah yang masih terbatas bacaannya.


Namun cerita-cerita itu menjadi pemantik, seringkali saya ke Perpustakaan untuk mencari bukunya, dan tak semua tersedia.


Era ketika ponsel belum mengambil alih sebagian besar waktu, buku adalah hiburan yang menarik.


Duduk syahdu berjam-jam membaca novel atau majalah sastra, tanpa terganggu notifikasi.


Terkadang saya bertanya tentang novel pada beliau, misalnya La Barka karya NH Dini, referensi beliau terkait sastra memang lebih banyak ke novel.


Beliau tipe yang tak begitu antusias dalam merespon, sesekali mengangguk sambil bertanya, baca di mana? Bagaimana ceritanya?


Namun referensi bacaan sastra saya, khususnya angkatan balai pustaka, pujangga baru, 45, ya dari beliau.


Sambil menceritakan jika era sekarang angkatan sastra sudah tidak ada, meski kadang menyebut istilah "sastra kontemporer" dan memuji-muji Supernova, sembari menyebut Laskar Pelangi dan Ayat-ayat Cinta.


Baca saja, saran beliau. Mungkin lewat percakapan-percakapan itulah, saya kemudian punya sedikit wawasan dan minat pada sastra (bahkan hingga sekarang).


Termasuk terlibat pendirian Forum Lingkar Pena di Blitar yang kala itu mengusung Sastra Islami, meski Pak Sugeng kemudian hari tak terlalu ingin membuat kotak-kotak sastra.


"Kalau novel Atheis apa tidak masuk Sastra Islami?" timpalnya.


Begitulah Pak Sugeng, sosok ramah dan santai, tak begitu suka menjelaskan detail suatu hal dan lebih mengajak orang lain untuk ikut berpikir.


Pak Soegeng dan Pak Mujito (alm), guru Bahasa Arab yang juga mengisi hari-hari di kelas Bahasa. Dok/go green Malintar.


Termasuk ketika beliau sempat menjadi pembina ekstrakulikuler Jurnalistik dan saya menawarkan diri untuk membantu sebagai alumni.


"Ah nanti saja, masih baru (jadi pembina)," jawabnya.


Lalu, malah saya yang tergerus kesibukan hingga tak sempat lagi berkunjung ke sekolah, hingga pembina Jurnalistiknya berganti Pak Nanang Arifin, itupun saya hanya datang sekali.


Di luar sekolah, pernah juga berjumpa dengan Pak Sugeng saat menghadiri acara LPM Laun STIT Al-Muslihuun, ternyata beliau juga dosen di kampus tersebut.


Ajaibnya, beliau ingat nama saya, lengkap dengan jurusannya, jurusan yang sekarang tidak ada.


Bagi saya, sosok Pak Sugeng terekam begitu kuat; mata pelajarannya, pembawaannya, cara mengajarnya, dan ilmunya yang hingga sekarang saya geluti.


Jika tak bertemu Pak Sugeng, mungkin tak ada percakapan tentang Arminj Pane, Hamka atau Asrul Sani, mungkin hanya sekumpulan teori majas dan tata bahasa.


Jika bukan Pak Sugeng, yang sarjana sastra itu, mungkin pelajaran bahasa hanya kudapan hambar, kurang renyah dan gurih.


Jika bukan Pak Sugeng, mungkin saya tak akan terpantik untuk menyusur rak perpustakaan dan mengais kucuran ilmu dari para sastrawan.


Juga, andai bukan Pak Sugeng, di antaranya, mungkin saya tak cukup mahir menulis seperti sekarang ini.


Selasa, 20 Mei 2025, penutur handal itu telah berpulang, ingatan tentang beliau langsung menyeruak beriring dengan flyer ucapan bela sungkawa yang berseliweran di sosial media.


Selamat jalan, bapak. Terima kasih telah bercerita banyak hal, sangat bersyukur pernah menjadi muridmu.


Dinoyo, 21 Mei 2025

Ahmad Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak