“Kebahagiaan adalah memeluk seseorang dan tahu bahwa kau sedang memeluk seluruh dunia.”
— Orhan Pamuk, Snow
Salju turun tanpa henti, menutup kota, membekukan waktu, dan menyelimuti segalanya dalam diam yang panjang.
Di kota kecil bernama Kars, seorang penyair pulang dari pengasingan. Ia membawa koper, sepasang mata yang ragu, dan harapan yang rapuh… untuk cinta, untuk makna, dan untuk satu tempat yang bisa ia sebut rumah.
Orhan Pamuk dalam Snow menulis novel tentang negara, tentang peradaban yang terbelah, tentang iman yang diuji oleh kesunyian, dan tentang salju yang jatuh seperti rahmat, tapi menyisakan jejak luka.
Kars adalah kota yang pernah diperebutkan kekaisaran, kini tertatih dalam kemiskinan dan perebutan makna.
Dan salju, alih-alih memutihkan luka, justru menutupinya dengan ketebalan yang sulit dicerna.
Ka adalah seorang penyair Turki yang selama 12 tahun tinggal di Frankfurt sebagai pengungsi politik.
Ia kembali ke negaranya untuk liputan jurnalistik, menyelidiki kasus bunuh diri sejumlah remaja perempuan yang dilarang mengenakan jilbab di sekolah.
Kota Kars, tempat tragedi ini terjadi, menjadi tujuannya. Tapi itu bukan satu-satunya alasan. Ada nama lain yang memanggilnya kembali, İpek, cinta lamanya yang dulu gagal ia pertahankan.
Kars menyambut Ka dengan salju. Jalan-jalan segera tertutup, kendaraan tak bisa keluar masuk, dan orang-orang dipaksa tinggal di tempat mereka berdiri.
Isolasi inilah yang membuat semua hal menjadi mungkin, atau malah mustahil.
Ka menginap di Snow Palace Hotel, hotel tua peninggalan Rusia yang dikelola oleh ayah İpek, Turgut Bey.
Di sana, Ka mulai menulis puisi-puisi barunya, seperti mendapat wahyu dari langit.
Setiap bait seolah datang bersamaan dengan setiap butir salju yang jatuh.
Dalam keadaan terkurung, Ka mulai melihat segala sesuatu lebih dekat; orang-orang, kemarahan, kepedihan, dan ketakutan yang tersembunyi di balik percakapan sehari-hari.
Kars adalah kota yang melankolis. Bangunan tua peninggalan Rusia, gereja-gereja yang berubah fungsi, jembatan batu berusia lima abad, dan gang-gang sempit yang dilapisi salju menjadikan kota ini seperti museum dari zaman yang hilang.
Gedung teater nasional, tempat berlangsungnya kudeta kecil dalam bentuk pertunjukan, menjadi panggung nyata dari absurditas politik lokal.
Sementara itu, Green Pastures Café dan kantor surat kabar Border City Gazette menjadi pusat rumor dan bisikan, tempat di mana fakta dan fiksi saling silang seperti kabut.
Orang-orang yang Ka temui di Kars adalah representasi wajah-wajah Turki yang saling bertabrakan.
Kadife, adik İpek, adalah aktivis muda yang memperjuangkan hak perempuan untuk mengenakan jilbab. Ia keras kepala, berani, dan tidak tunduk pada siapa pun.
Sunay Zaim, mantan tentara yang kini menjadi aktor teater, mempercayai bahwa satu-satunya cara menyelamatkan negara adalah lewat kudeta yang dipentaskan.
Ia membaurkan batas antara teater dan realitas, menjadikan panggung sebagai tempat revolusi.
Ada pula Blue, pria karismatik dari jaringan bawah tanah Islamis. Ia menolak direduksi menjadi ekstremis, meski sikap dan metodenya kerap berujung darah.
Lalu ada Muhtar, mantan suami İpek, yang sekarang menjadi politisi Islam dan tengah mencalonkan diri sebagai wali kota.
Ka, yang datang sebagai outsider, seketika menjadi pusat perhatian semua pihak, meski pada akhirnya dikhianati oleh kepercayaannya sendiri.
Di balik semua itu, Ka hanya ingin satu hal, hidup bersama İpek di Frankfurt. Ia percaya cinta bisa menyelamatkan semuanya.
Tapi cinta, seperti salju, hanya turun untuk waktu tertentu. Begitu meleleh, ia menyisakan lumpur dan kecewa.
İpek menolak meninggalkan Kars. Ia punya alasan sendiri, sebagian karena keluarganya, sebagian lagi karena masa lalu yang tak selesai.
Dalam satu malam yang tampaknya akan menjadi akhir yang bahagia, Ka menyadari bahwa ia tetap sendirian.
Frankfurt, kota tempat Ka kembali, adalah tempat asing yang tak pernah benar-benar ia miliki.
Di sana, ia menulis sedikit, berbicara sedikit, dan hidup dalam keheningan.
Tiga tahun setelah kunjungannya ke Kars, Ka tewas ditembak di luar apartemennya. Tak ada penjelasan resmi. Banyak yang percaya bahwa pembunuhan itu ada hubungannya dengan keterlibatannya di Kars dan puisi-puisi yang ia tulis.
Puisi-puisi itu hilang. Tidak satu pun ditemukan.
![]() |
Orhan Pamuk |
Narator dalam novel ini adalah Orhan Pamuk sendiri, Ia datang ke Kars untuk menyelidiki kehidupan Ka, membaca catatannya, bertemu orang-orang yang mengenalnya, dan mencari puisi yang hilang.
Tapi yang ia temukan bukan kebenaran, melainkan fragmen-fragmen yang saling bertolak belakang.
Setiap orang punya versi sendiri tentang Ka, tentang peristiwa di teater, tentang siapa yang bersalah dan siapa yang benar.
Dalam dunia yang penuh ideologi, narasi bukan lagi soal fakta, tapi soal siapa yang menguasai mikrofon.
Salju dalam novel ini adalah metafora yang menjulang. Ia menutupi kebencian, memutihkan perbedaan, dan membekukan konflik, sementara di bawahnya, api masih berkobar.
Salju memberikan keheningan yang menipu. Ia menjadikan orang terlihat bersih, padahal hanya tertutup sementara.
Salju juga membuat orang merasa dekat, karena mereka semua terjebak dalam nasib yang sama.
Tapi kehangatan yang timbul dari kesamaan penderitaan itu tidak cukup untuk menyelamatkan siapa pun.
Pamuk menulis Snow bukan sebagai penghakiman. Ia tidak menyalahkan agama, sekularisme, atau Barat.
Ia hanya menunjukkan bahwa dalam masyarakat yang terus-menerus berada dalam tarik-menarik kekuasaan dan keyakinan, manusia menjadi korban dari pertarungan yang tak ia pahami sepenuhnya.
Ka bukan pahlawan. Ia bahkan terlalu pasif. Tapi justru karena itulah ia menjadi cermin yang jujur dari banyak orang. Ingin mengerti, tapi keburu bingung; ingin mencinta, tapi keburu kecewa; ingin percaya, tapi terlalu banyak melihat kebohongan.
Di antara semua ketegangan yang disuguhkan novel ini, yang paling menyakitkan justru bukan ledakan atau pembunuhan, tapi keheningan.
Salju jatuh tanpa suara. Ka menulis puisi dalam diam. İpek tidak pernah berteriak. Kars tidak pernah menjerit. Tapi justru dalam keheningan itulah, semua penderitaan menjadi terasa begitu nyata.
Pamuk menulis dengan ritme yang pelan tapi tajam. Ia membuat pembaca terperangkap dalam kota yang tidak bisa ditinggalkan, seperti Ka, seperti para tokoh lain yang menyaksikan sejarah menari di panggung kecil penuh salju.
Pada akhirnya, kita pun keluar dari novel ini dengan dingin yang masih melekat di kulit, dan mungkin, satu pertanyaan sederhana, apakah kebahagiaan memang sesederhana memeluk seseorang, lalu percaya bahwa dunia tak lagi mengancam?
Snow tak memberi jawaban. Tapi ia mengajari kita bahwa kadang, pertanyaan itu sendiri sudah cukup. []
Tabik,